Malam Ini Iidak Tarawih

Hujan deras, kilat, dan petir bersahutan di luar. Aku bahkan mengaktifkan mode pesawat pada ponsel. Sendiri di kamar sambil membawa pikiran melanglang buana. Aku teringat saat puasa di Jogja. Saat masih mengerjakan skripsi, atau sebelumnya. Saat itu aku jarang sekali puasa. Saat takwa begitu lemah. Terpikir lagi pertanyaan, apakah jika aku sendiri di kota entah mana, aku akan menjalankan puasa setertib ini? Jawabannya tidak.

Lebih banyak keadaan yang mendorong kita pada suatu keputusan, bukan kesadaran, begitu pula denganku. Keadaan ekonomi mungkin yang pertama, psikologi, dan eksistensi menjadi pemicu seterusnya. Sepertinya, akan lebih baik untuk memperbaiki keadaan lebih dulu, kemudian disusul dengan kesadaran.

Takwa itu bukan takut, tapi abdi. Begitu kata HAMKA. Mulai aku bertanya seberapa lemah rasa pengabadian ku, bahkan pada diriku sendiri. Dalam banyak hal mungkin aku tak menghargai diri. Terlalu santai. Lebih sering mepet dalam mengerjakan hal-hal penting. Ini penyakit yang ada sejak jaman kuliah.

Kemarin temanku bilang, katanya dia cukup terkesan denganku. Aku tampak sebagai orang yang tidak butuh uang, tidak peduli pendapat, tidak kemaruk, begitu istilah kasarnya. Awalnya itu kuanggap sebagai pujian. Namun ungkapan itu terasa salah di kemudian waktu. Aku hanya terlalu santai, terlalu enggan untuk mendapatkan lebih. Lebih baik cukup dan tenang, begitulah perasaanku selama ini. Sekilas ini tampak baik, namun sebenarnya ini terlalu lembek. Dalam bahasa awam, bisa dibilang ini kemalasan.

Mbakku juga pernah bilang di telepon, “kamu itu seperti bapak, terlalu menerima apa adanya “.

Kujawab dengan santai, “ya memang aku anaknya.”

Dia pun kemudian nerocos banyak hal untuk Jangan terlalu apa adanya. Berusahalah mendapatkan lebih. Bekerjalah lebih giat. Jangan mudah merasa cukup.

Namun sampai saat ini aku masih bertanya, untuk apa lebih? Aku pernah bekerja cukup rendahan, pernah kelaparan saban hari. Hanya makan mie dan sebatang rokok sebagai penyegar pikiran. Tapi mendramatisir itu semua adalah hal bodoh.

Seorang dari Pekalongan pernah berkata padaku. Katanya gurunya, tak ada orang miskin, yang ada adalah orang kaya, dan cukup. Mereka yang kaya adalah yang memiliki kelebihan, sedang yang cukup adalah yang sesuai kebutuhannya.

Aku meyakini ungkapan ini. Sangat yakin. Cukup dan kaya dalam hal ini sebenarnya sangat relatif-subjektif. Namun jika harus memilih antara kaya atau cukup, aku akan lebih memilih menjadi cukup. Cukup dengan apa kunikmati, cukup dengan apa yang kucintai. Semoga Allah senantiasa mencukupi diriku.

Hujan sudah hanya menyisakan gerimis. Kilat dan petir sudah tidak seperti jam setengah 7 tadi. Mungkin sebaiknya aku mengambil wudhu dan Shalat Isya. Kurasa tidak apa-apa untuk tidak tarawih malam ini. Sekali-kali tidak mengapa. Eh, sepertinya sudah dua kali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"