Diam
Memang lebih baik diam
Lebih tepat untuk ngobrol dengan diri sendiri

Tak ada teman yang lebih baik dari diri sendiri

10/02/2025



Beberapa waktu yang lalu aku selesai membaca buku biografi Albert Einstein karya Walter Issaction. Karya yang bagus mengenai orang yang luar biasa. Aku jadi tahu Albert Einstein tidak hanya sebagai seorang jenius yang menggeluti bidang fisika, aku jadi lebih tahu dia sebagai seorang manusia. Aku tahu kultur di mana dia dilahirkan, wataknya sebagai pribadi yang berbakat, juga egonya sebagaimana anak muda pada masanya. Buku itu memberi tahuku bawah Einstein adalah sosok genius yang tetaplah manusia biasa, punya kerapuhan dan sifat negatif. Banyak hal yang dapat dibanggakan dan dipelajari darinya, tapi juga tetap ada hal-hal yang bisa di kritik. Terkadang, karena terlalu membanggakan seseorang, kita menganggap hal negatif darinya pun sebagai keistimewaan. Cara pandang seperti itu menjadi kecenderunganku selama ini, dan mungkin juga pada banyak orang.

Tak ada manusia yang sempurna. kalimat itu memang tampak klise. Tapi jauh di lubuk hari kita, atau jika kita mau memikirkan pengalaman kita tentang seseorang, baik dan buruknya, kita akan bisa mengerti dengan kebenarannya. Seharusnya aku bisa belajar sejak dulu, bahwa yang klise dari sebuah kalimat bukanlah kata-katanya, tapi intensi dari konteks kalimat itu ketika digunakan. Orang-orang hebat selalu membuat kesimpulan sederhana dalam rangkaian kerumitan yang dia pelajari, sedang orang bodoh melihat kesederhanaan sebagai dogma yang kadang membuat mereka harus bergelut dengan kerumitan. Mereka yang tak mau mempelajari kerumitannya, akan tersesat, atau bahkan hanya jadi benalu.

Menyenangkan rasanya membaca buku ini. Sebab membawaku menyelami pada dunia batin Einstein lewat surat-surat pribadinya pada orang-orang terdekatnya. Memikirkan sifat dan sikapnya, menginspirasiku untuk memandang dunia sebagai mana dia melakukannya. Salah satunya tentang menolak status quo dan juga keteguhan pada pendapat pribadi, yang disertai alasan yang kuat untuk diri sendiri.

Buku ini menguatkan cara pandang tua dan muda pada seorang individu. Sebagaimana yang sudah kupelajari dan kulihat dari orang hebat sebelumnya, mereka yang dalam di pilah kecenderungannya sewaktu masih mudah, dan juga saat memasuki usia tua. Sebagaimana pembelajaran tentang Karl Marx muda dan Karl Marx tua, Soekarno muda dan Soekarno tua, bahkan pada Iwan Fals muda dan Iwan Fals tua. Einstein muda penuh dengan semangat anti kemapanan dan progresif, sedangkan Einstein tua bila dibilang konservatif dengan pemikirannya, bahkan mulai cenderung mengakui meragukan kembali apa yang dulunya dia tolak, sebagaimana dalam kasus eter, ruang hampa yang menjadi medium cahaya untuk merambat.

Perbedaan karakter dari masa muda ke masa tua membuat Einstein tidak jauh berbeda dengan banyak orang hebat lain, yang spesial darinya adalah kegeniusannya. Cara pandang fisikanya yang radikal, dan pola berpikirnya yang tidak konvensional, sebagaimana para fisikawan lain pada masanyalah, yang membuatnya menonjol dan menjadi istimewa.

Buku ini telah membuatku merasa sedikit lebih dekat dengan Albert Einstein, dan sebagaimana hukum kedekatan pada umumnya, kekagumanku menjadi sedikit berkurang, dan penglihatanku padanya menjadi sedikit lebih rasional. Mungkin begitulah hukumnya ketika kita menjadi lebih dekat dengan sesuatu yang awalnya kita kagumi. Seperti gunung dan bulan yang dari jauh tampak indah, namun saat lebih dekat dengan hal itu, baik dengan cara melihat langsung atau mempelajarinya, cara pikir kita berudah dari yang awalnya kita kagumi keindahannya dari jauh.

Selama ini, dunia menghadirkan Einstein sebagai orang yang perlu dikagumi, dipajang fotonya dalam ruang kelas atau kamar pribadi, dan di tempel kutipan kalimatnya di dinding. Setelah membaca keseluruhan riwayat hidupnya dari buku ini, kesadaranku berganti. Alber Einstein adalah manusia Eropa pada umumnya, yang lahir dari kalangan aristokrat Jerman, anak seorang pengusaha energi listrik, bersekolah di Politeknik Zurich, dan berada pada kultur sains modern yang sedang menjadi tren dalam budaya Eropa pasca revolusi industri. Yang menjadi pembeda adalah, dia tumbuh menjadi tokoh jenius dengan caranya.

Idenya benar-benar merombak cara pandang fisika yang sudah mapan, yang di pelopori oleh teori fisika Newton. Pencapaian tertingginya ditandai dengan ketepatan prediksinya dalam menghitung pergeseran cahaya bintang-bintang di dekat matahari saat terjadi gerhana tahun 1919. Selama gerhana, cahaya dari bintang-bintang di dekat matahari tampak sedikit bergeser karena medan gravitasi matahari melengkungkan jalurnya. Hasil pengamatan ini mengonfirmasi bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya, yang itu mendukung teori relativitas umum dan pandangan gravitasi Newton. Gerhana tahun 1919 itu memainkan peran besar dalam menjadikan Einstein terkenal di seluruh dunia, dan memperkuat teori relativitas umum dalam komunitas ilmiah.

Kesan terakhir yang ingin kutuliskan adalah, pertemanannya dengan Michelle Besso, orang yang menginspirasinya dalam menemukan teori relativitas khusus tahun 1905. Aku senang saat dulu dapat membaca Einstein Dreams karya Alan Lightman. Buku itu membuatku melihat waktu bukan lagi sebagai sesuatu yang statis sebagaimana detik di jarum jam. Saat kemarin aku membaca hubungannya selama kehidupan Einstein, aku begitu kagum dengannya. Dian adalah sosok sahabat yang terus menjadi sahabat dalam aneka perubahan dunia. Sejak dulu aku selalu ingin menjadi sahabat yang seperti itu. Mungkin dia tidak se genius Einstein, tidak begitu dikenal dan dikagumi dunia, tapi dia adalah sahabat yang menolak goyah oleh badai dan dinamika.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terasing di "Maya Dunia"

Kutanya Diriku Sendiri