Refleksi plato atas sokrates

                     

Apakah keutamaan(virtus) dapat diajarkan? Mungkin inilah pertanyaan yang menhantui hari-hari Plato setelah menyaksikan kematian dramatis Sokrates, sang guru yang mesti meneguk racun demi kebenaran yang telah diyakininya. Sokrates dihukum oleh pengadilan Athena dengan tuduhan telah meracuni jiwa anak-anak mudanya.
Proses pengadilan Sokrates sesungguhnya menyisakan banyak ganjalan dalam hati Plato. Dalam dialog Sokrates dengan Krito beberapa saat sebelum kematiannya, tampak kecemasan dalam diri Plato tentang keputusan yang diambil oleh sang guru. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres dalam proses peradilan Sokrates ini. Krito mengusulkan agar Sokrates melarikan diri dari penjara. Mempertimbangkan hal itu, Sokretes mengajukan sebuah proposal tentang makna sebuah prilaku yang adil.
Dalam dialognya dengan Krito, sokrates mencoba merefleksikan tentang apa yang akan dia lakukan dan apakah yang akan dia lakukan dapat dibenarkan secara moral atau tidak?, hingga akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa perbuatannya melarikan diri dari penjara adalah sesuatu yang tidak dapat diprtanggung jawabkan secara moral.menurut sokrates. Akirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa melarikan diri dari penjara berarti ia telah berlaku tidak adil. Heorisme Sokrates lantas menjadi contoh klasik tentang integerasi moral. Ia menjadi simbol tentang kesetiaan pada kebenaran dan suara hati sampai pada akhir hayatnya.
Dalam pembelaannya dan juga dialognya bersama Meleto, Sokrates dengan lihai dan cerdik menunjukkan bahwa pengadilan atas dirinya sama sekali tidak memiliki dasar. Sebaliknya Meleto tidak dapat membuktikan kesalahannya. Dalih bahwa ia telah meracuni otak kaum muda itu tidak terbukti. Bahwa ia tidak percaya pada dewa-dewa yang dipercaya warga polis juga tidak memiliki dasar.  Ia malahan dapat dengan cerdik mengalahkan argumentasi Meleto. Fakta yang terjadi adalah bahwa Sokrates telah diculik oleh Meleto. Namun demikian, pengadilan tetap memutuskan hukum mati baginya.
Kematian sokrates menjadi bukti bahwasanya dia menyisakan pertanyaan kepada Plato tentang makna keutamaan. Jika keutamaan tidak dapat diajarkan, maka sia-sialah kematian sokrates. Jika keutamaan tidak mampu mengubah atau menggerakkan pribadi yang lain, sia-sialah Sokrates meneguk racun, sebab kebenaran itu akan musnah seiring dengan kepergiannya di dunia. Kematian Sokrates hanya akan menjadi kenangan pahit yang tak mampu merubah tatanan masyarakat dan meningkatkan kualitas demokrasi di Athena.
Tragedi sokrates mengindikasikan dua hal yang berbeda. Pertama, keteguhan dan prinsip hidup Sokrates berhadapan dengan tatanan hukum Athena. kemtian Sokrates menunjukkan bahwa kekuatan apapun tidak mampu menghilangkan keyakinan seorang individu atas kebenaran yang diyakininya meskipun kekuasaan tetap dapat menelikungnya.
Kedua, tatanan hukum Athena yang menghargai Demokrasi ternyata telah mengorbankan salah seorang warganya yang tidak bersalah dengan telikung suara mayoritas para tiran. Dalam sejarahnya, sistem voting dalam tatanan demokrasi pernah menjadi alat yang membahayakan sebab dapat di telikung oleh suara mayoritas untuk mengorbankan warga sipil yang tak bersalah.
Kebenaran itu memang bisa ditelikung oleh penguasa tiran. Keadilan memang bisa dikelabuhi oleh sistem voting yang disebut sebagai sistem yang paling demokratis, oleh karena itu, Plato dalam dalam repoblik-nya ingin memberi inspirasi tentang tatacara pemerintahan dan pemerintah yang mampu menjembatani semuanya, yaitu membentuk sosok pemimpin yang adil dan berpegang teguh pada kebenaran. Sosok seorang pemimpin ini hanya dapat ditemukan dalam diri seorang filsuf.
Bagi plato menjadi sorang filsul  mengandalkan bahwa seseorang itu telah menjalani sebuah proses pendidikan yang integral. Perlulah baginya untuk menerima sebuah pendidikan yang adil dari sebuah pemerintahan yang adil. Tidak mungkinlah sebuah pendidikan yang tak adil akan memberikan rasa adil bagi para calon pemimpin yang sedang diciptakannya. Demikian juga jika pemerintah sebuah negara tidak adil, ia juga akan sulit menciptakan para pemimpin yang menghargai keadilan melalui proses pendidikan yang ia tawarkan.
Demikianlah dalam republika, plato menghadirkan problem utama tentang pendidikan yang benar bagi seorang filsuf yang akan menjadi seorang pemimpin. Hidupnya semestinya dijiwai dengan keteguhan, kekuatan dan kebijaksanaan. Kemampuan intelaktualnya semestinya telah digembleng untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan melalui disiplin yang keras, seperti Matematika, fisika, dan astronomi. Tidak hanya itu, seorang filsuf harus sampai pada pengetahuan mengenai apa yang baik, baik dalam segi agama, sosial, dan juga budaya yang dapat menguatkan dirinya dan juga menerangi kerohaniannya seperti terangnya sinar matahari.
Drama kematian sokrates yang menggoncangkan jiwa plato membuat dia memikirkan bagaimana membuat sosok seorang pimimpin yang memiliki sifat integral sehingga mampu menjadi pemimpin sebuah negara. Sokrates menunjukkan kepada plato bahwa manusia sebagai subjek yang dianugrahi kebebasan dan kemampuan berpikir, tidak dapat ditundukkan oleh kepentingan politis penguasa tiran yang menghukum Sokrates. Plato banyak belajar dari sokrates bahwa manusia mampu merelakan hidupnya demi sebuh nilai yang dianggap sebagai nilai tertinggi. Demi sebuah kebenaran manusia mampu merelativir keterbatasan dan mengatasi tekana yang berasal dari luar dirinya.

Nilai-nilai


Cerita mengenai Sokrates yang dihukum mati oleh pengadila di Athena mungkin hampir diketahui oleh sebagian dari Mahasiswa, baik mereka yang belajar Filsafat ataupun tidak. Namun saya kira tidak banyak orsng yang mengetahui tentang pakah esensi dari kejadian itu dan nilai-nilai apa yang selayaknya kita ambil dan kita terapkan dalam menyikapi kejadian ini, agar hal ini tidak menjadi seperti apa yang dikatakna plato diatas yakni,”kematian Sokrates hanyalah kenangan pahit yang hanya bisa dikenang di masa silam”, padalah cukup banyak sekali nilai-nilai yang bisa kita pelajari dalam hal ini bahkan lebih dari apa yang direfleksikan oleh Plato diatas. Ada beberapa nilai yang dapat saya simpulakan di atas, yang barang kali dapat menjadi sebuah pandangan untuk kita dan masa depan bangsa dan masyarakat kita kedepan.

1.Mengenai keteguhan dan kekeberanian dengan prinsip kebenaran

Keteguhan Sokrates atas nilai yang dipegangnya, dan juga keputusanya untuk tidak melarikan diri dari penjara adalah suatu nilai kebijaksanaan yang tinggi. Hal ini memberikan pesan yang tersirat pada kita bahwa kita hidup ini harus selalu membawa kebenaran bahkan sampai mati, karna percuma jika kita hidup hanya berisikan kebohongan dan penhianatan, karna itu hanya akan merugikan sesama mahluk dan tidak akan membawa pandangan baik pada generasi setelahnya.
Peristiwa perjuangan akan kebenaranpun sudah pernah terjadi di negara kita indonesia, yakni ketika terjadi tragedi Mei, tahun 1998. kita tahu bagaimana para mahasiswa berjuang berhari-hari untuk menuntut sebuah kebenara dengan berani dan merekapun juga tadak takut dengan ancaman tentara, karena mereka merasa bahwa apa yang mereka perjuanggkan adalah benar, dan sudah selayaknya bagi kita untuk bisa belajar dan mengambil nilai-nilai dalam kejadian ini.

2. Peninjauan kembali tentang masalah Demokrasi

Demokrasi adalah sistem kenegaraan yang lebih mengutamakan suara mayoritas tanpa mempertimbangka apa yang disebut kebenaran itu sendiri. Hal ini akan memberikan dua hal yang cukup penting yakni, petama, Demokrarasi bisa dibilag merupakan sebuah  paradoks atau sesuatu yang mengakibatkan dua hal yang bertentangan, dia bisa dibilag baik manakala memang dilakukan dengan baik dan atas dasar semangat kebersamaan untuk membangun negara dan itupun juga dibutuhkan SDM yang berkualitas. Namun demokrasi hanya akan menjadi malapetaka apabila tidak di imbangi dengan SDM yang baik dan juga tidak ada rasa cinta dan semengat untuk membangun negri, karna hal itu hanya akan menjadi bahan perebutan oleh kelompok atau oknum-oknum yang tak bertanggung jawab untuk memperebutkan kekuasaan.
Kedua,pentingnya pendidikan dalam mengenai demokrasi secara mendalam bagi generasi bangsa. seperti yang diinginkan Plato bahwa, dia tidak mau sejarah kematian Sokrates terulang kembali, biarlah kematian Sokrates menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagi Demokrasi Athena dan dan juga bangsa demokrasi di deluruh dunia. bahwa dalam Demokrasi kita perlu menciptakan seorang pemimpin yang benar-benar mengerti mengenai kebenaran, bukan hanya mengutamakan suara mayoritas dan pemikiran mengenai sub-sub kebenaran itu hanya ada dalam jiwa filsuf, maka Plato pun berkata bahwa “tidak ada yang pantas menjadi pemimpin kecuali dia adalah seorang filosof”.

3. Pentinnya pendidikan mengenai karakter

Salah satu teori mengenai keberhasilan suati bangsa adalah teori masalah pendidikan. Semakin maju pendidikan suatu bangsa maka bisa dibilang akan semakina sukses bangsa tersebut dalam mengelola sebuah negara dan masyarakatnya, tetapi yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah pendidikan seperti apakah yang akan kita berikan?, Karna fenomena ynag terjadi adalah sarajana pendidikan kita hanyalah menjadi rorobt-robot yang hanya dimanfaatkan oleh kapitalis belaka. maka dari itu bagi saya selayaknua kita memiliki pendidikan yang berkarakter, entah karakter apapun itu. Baik karakter kebangsaan, karakter keagamaan, karakter kebudayaan, dan juga karakter kemanusiaan. karna disitulah akan dapat tercipta generasi yang dapat dipercaya oleh bangsa, bukan tiran yang hanya mementingkan kekuasaan kedudukan seperti yang dilakukan pada pemerintahan demokrasi Athena pada zaman sokrates.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"