Terorisme, Propaganda dan Dominasi
Judul : Pirates And Amperiors; pelaku terorisme internasional yang sesungguhnya
Penulis : Noam Chomsky
Penerbit : Bentang Pustaka
Penerjemah : Eka saputra & Khanifah
Terbit : Cetakan pertama, November 2017
ISBN : 978-602-291424-2
Siapakah teroris yang sebenarnya? Sejarah merupakan produk penguasa untuk menambah dan melanggengkan kekuasaannya. Penguasa itu juga akan menggunakan kroni-kroninya untuk membenarkan dan melegitimasi apa yang dilakukannya.
Buku Pirates And Emperior menghubungkan kisah Santo Agustinus tentang Alexander Agung yang mencaci perompak yang membajak perdagangan di laut. Bajak laut tersebut berpendapat bahwa ia dilabeli “perompak” hanya karena dia menggunakan kapal kecil sebagai penjarahannya, sedangkan Alexander yang menggunakan armada laut besar disebut “sang kaisar”. Chomsky menggambarkan “kaisar”/Amerika serikat yang menggunakan kekerasan bersekala besar di timur tengah dengan benar sesuai dengan nilai ideologi saat ini. Sementara mencela orang-orang Arab, atau orang-orang Timur Tengah sebagai “teroris” karena melakukan kejahatan yang lebih rendah.
Amerika Serikat merasa perlu ikut campur dalam persolan yang dihadapi oleh Timur Tengah dengan mengatasnamakan HAM, kebebasan dan keadilan hukum. Di sanalah negara adidaya ini melancarkan serangannya pada pemimpin negara lain dan kemudian dengan itu dia diakui kekuatannya dan diikuti perintahnya.
Pendekatan dalam meliahat “terorisme”
Chomsky melihat ada dua cara dalam mendekati terorisme. Pertama dengan menggunakan pendekatan literal, yakni menganalisa topik terorisme itu sendiri secara mendalam, atau dengan menggunakan pendekatan Propaganda, yakni yakni dengan menerangkan konsep terorisme sebagai sebuah senjata untuk diekploitasi dalam melayani beberapa sistem kekuasaan.
Dalam pendekatan propaganda, terorisme merupakan tanggungjawab (responsibility) yang sudah ditentukan secara resmi. Lalu tindakan-tindakan teror yang mereka lakukan disebut sebagai “teroris”, kemudian tindakan tersebut akan di propagandakan dulu lewat media, baru kemudian –jika dibutuhkan- diserang dengan kekuatan yang lebih besar untuk ditaklukan dan dikuasai. Kejahatan teror “Sang Kaisar” tidak hanya melakukannya dengan kekuatan militer, tapi juga mendominasi pemerintahan, pemberitaan, komentar dan pengetahuan arus utama.
Sebagaimana pada tahun 1980, terorisme Timur Tengah/Mediterania dipilih sebagai berita utama oleh para editor pada 1985 oleh jejak pendapat Associated Press, dan satu tahun kemudian industri teroris di eropa runtuh begitu saja. Sedangkan secara Literal, terorisme oleh sumber-sumber dari Amerika dimaknai sebagai, “penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang telah diperhitungkan untuk mencapai tujuan,tujuan yang bersufat politis, agamis, atau ideologi. Ini dilakukan melalui intimidasi, pemaksaan, atau penanaman kekuatan.
Sistem propaganda yang dilancarkan oleh Amerika Serikat cukup berhasil mengelabuhi masyarakatnya sendiri dan masyarakat dunia pada umumnya dalam menghancurkan apa yang dianggap musuh olehnya. Sebuah sistem propaganda yang telah membangun rangkaian Iblis; sandinista, “kangker” yang harus dihanguskan (George Shulzt); Muamar Qaddafi, “Anjing gila timur tengah”; Yaser Arafat, “Bapak Terorisme Moedern”; Videl Castro, yang mengancam akan mengambil separuh dunia barat dalam pengabdiannya Uni Soviet, dan sebagainya.(hal. 225)
Kasus Palestina-Israel
Analisis Chomsky mengenai keadaan perseteruan Palestina-Israel tergambar dalam tiga bab buku ini. yakni, Kontrol Pemikiran: Kasus Timur Tengah; Terorisme Timur Tengah dan Sistem Ideologis Amerika; dan Amerika Serikat/Israel-Palestina.
Kepentingan Amerika di timur tengah membuatnya selalu membangun konflik disana, sebagai dalih atas campurtangannya dalam negara tersebut. Israel adalah alat dari pada Amerika serikat dalam melancarkan kepentingannya di wilayah timur tengah saat ini. Amerika terus menjadi pendukung bagi Israel dalam persetruannya dengan negara Palestina, baik dalam diplomasi di PBB maupun dalam propaganda lewat New York Times. Sampai penguasaan beberapa wilayah palestina oleh israel pada tahun 1980, israel melarang pembangunan yang didudukinya, mengambil alih lahan penting dan sebagian sumber daya, seraya mengorganisasikan proyek pembangunan sedemikian rupa sehingga membiarkan penduduk terisolasi dan tidak berdaya. Rencana dan pendudukan ini sangat bergantung pada dukungan militer, ekonomi, diplomatik dan ideologi AS (hal-15).
Hingga hari ini persoalan itu terus berlanjut. Dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Trump menunjukkan ia tidak peduli dengan peringatan yang berdatangan dari seluruh dunia bahwa pengakuan itu berisiko menimbulkan konflik memburuk terhadap situasi di Timur Tengah yang sudah ricuh (Republika.co.id, 14/12/2017).
Bagaimanakah konflik tersebut bisa terus berlanjut hingga nyaris tak dapat ditemukan Konklusi-nya? Pemaparan mengenai fakta-fakta dan juga analisa kritis mengenai hal itu bisa pembaca temukan dalam buku ini. Ini adalah sebuah analisi dari salah seorang cendekiawan terkemuka di Amerika.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya