Menulis itu Biasa Saja

Kenapa sih, menulis itu harus kritis? Menulis harus bijak? Menulis harus intelek? Kenapa kita gak menulis karena pengen saja. Pengen curhat, pengen ngrasani orang, pengen mengungkapkan kekesalan yang gak bisa diucapkan tentunya. Kenapa untuk mengeluarkan "sampah" yang ada di kepala saja harus banyak aturan? Kenapa gak langsung diomongin aja sesuai dengan bahasa perasaan yang ada. Kan mudah dan simpel, tidak terkesan njlimet dan ruwet sejak dalam perasaan.

Belajar EYD memang membosankan sepertinya. Seperti orang hukum yang harus menghafal undang-undang dan harus bertindak sesuai aturan. Aturan kadang banyak mengkhianati perasaan. Padahal setiap hari kita bicara, kenapa tidak yang setiap hari kita bicarakan itu yang ditulis. Tanpa harus bingung menyesuaikan diri dengan EYD alias ejaan yang disemrawutkan disempurnakan.

Pernah ada buku yang judulnya cukup bombastis, "HARTO kamu benci Soekarno?". Penulisnya namanya juga Suharto (tapi bukan Soeharto Orde baru). Cukup bombastis bukan judulnya? Padahal setelah kubaca isinya cuma curhatan saat pelatihan. Bahkan tak ada refleksi dan pemikiran. Rasanya saya pengen ngumpat-ngumpat soal literasi waktu itu. Tapi kemudian saya pikir lagi dan saya sadari bahwa tidak semua tulisan memang bagus. Termasuk tulisan saya, hehee.

Pengalaman baru dari melihat buku itu saya jadi bisa mengerti. Buku juga sama seperti Film dan Musik, ada yang bagus dan ada yang jelek. Ada juga yang judulnya bagus tapi isinya jelek. Juga ada yang dibuat untuk proyek pribadi tertentu. Maka gak pantaslah saya resah soal budaya literasi. Karena tidak semua karya literasi bagus. Dan tidak semua film itu jelek. Mereka yang suka dengan film bagus lebih baik ketimbang yang cuma bikin tulisan jelek kayak saya ini.

Mohon maaf bila ada yang tersinggung.
Hehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"