Emboh Lah

Mugkin ini untuk yang sekian kalinya aku harus menulis sesuatu tentang diriku sendiri. Sebenarnya aku sedah jengah melakukan itu. Terlalu banyak berkutat pada persoalan diri sendiri malah bikin gak maju-maju. Aku seharusnya mau bergerak maju menghadapi tantangan. Itu sebenarnya masalah pribadiku yang membuat aku tak lekas memiliki identitas yang kongkrit. Seperti hidup tanpa sebuah pencapaiaan adalah kegagalan besar. Namun hal itu adalah kegagalan yang tak pernah aku evaluasi dan tak kuubah menjadi pelajaran untuk melangkah maju.

Bodoh. Aku emang bodoh dan mungkin akan selalu bodoh.

Sesekali kulihat aku lebih beruntung dari orang-orang yang aku temui, namun ketika kulihat dari sisi yang lain, ternyata aku banyak tertinggal dari mereka semua. Aku masih saja berurusan dengan keinginan yang tak lekas menjadi nyata. Semua itu karena aku tak cukup mampu untuk memperjuangkannya. Hingga pada akhirnya aku hanya melihat mimpi itu Cuma sebagai mimpi yang berlalu. Mungkin besok aku akan memiliki mimpi yang berbeda dengan hari ini dan mimpi itu juga akan berlalu sebagai mana mimpiku yang kemarin.

Sudah cukup banyak juga aku membuat kata-kata untuk perubahan, namun diriku tidak lantas bertahan pada kata-katayang kubuat itu. Hingga akhirnya aku malah melupakannya dan kembali menjadi diriku yang begini-begini saja. Harusnya aku sadar bahwa bertambahnya isi pikiran dan juga wawasan tidak lantas membuat kualitas hidup juga berubah. Karena tanpa komitment untuk berubah dalam hal itu, pikiran menjadi sia-sia belaka.

Sudahlah. Jika harus menghakimi diri, akan ada banyak sekali kalimat yang terucap, dan aku tidak cukup mampu untuk menghukum diriku sendiri pada akhirnya.

Hari ini aku disebuah tempat yang asing bagiku dan aku juga dianggap asing dengan tempat ini. Aku yang tak punya alasan untuk tinggal disini juga bingung juka memutuskan untuk pergi. Kebingungan itu terjadi karena keadaan banyak menutupi alasan untuk diriku memutuskan pergi dari sini. Aku  belum berani membuat keputusan harus tinggal sampai kapan disini. Yang aku lakukan mungkin berusaha memaksimalkan apa yang bisa kulakukan disini. Itu janjiku pada diriku sendiri dan semoga aku bisa melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.

Sejauh ini aku masih merasa kehadiranku tak cukup bermanfaat, entah kepada diriku sendiri atau kepada keadaan. Mungkin aku memang tidak memiliki kemampuan yang cukup bisa untuk diandalkan, dan mungkin juga aku terlalu sombong melihat diriku seolah mampu mengatasi keadaan tanpa campurtangan tuhan.

Entahlah, rasanya aku ingin segera mengakhiri tulisan ini dan merokok sambil menikmati kopi. Toh tulisan ini tak ada tujuannya dan tak tahu sebagai apa. Aku menulis ini karena melihat temanku diam-diam telah bisa melakukan hal yang sudah cukup lama aku impikan. Aku tak ingin menyebutkannya secara kongkrit disini, tapi sebenarnya hal itu cukup sederhana. Andaikan saja aku mau sedikit menabung dan menahan diri dalam soal konsumsi, mungkin aku akan bisa melakukannya. Sayangnya aku tidak cukup kuat dalam hal itu. Untuk menahan diri dan menabung merupakan pekerjaan yang tidak mudah, mengingat sejak kecil aku jarang sekali difasilitasi untuk bisa menabung. Tapi sebenarnya itu bukan alasan yang tepat karena menabung adalah kepribadian orang dewasa dalam hidupnya, bukan anak-anak.

Kini mugnkin aku perlu mengalihkan tulisan ini pada persoalan yang menyangkut spiritualitas hidupku. Apa itu spiritualitas? Mugkin dalam definisiku yang sekarang adalah keterkaitan dengan yang maha agung dan maha kuasa. Persoalan spiritualitas itu bisa dirangkum dalam bentuk cerita dari aku kecil dahulu. Dahulu aku adalah anak yang bisa dibilang cukup religius, dalam arti aku mengikuti keadaan dimana keluarga dan sebagian besar lingkungan banyak menjalankan agama dengan tertib. Rumah juga cukup dekat dengan pondok pesantren. Mungkin sebagai seorang anak aku punya kenalakan. Namun kenakalanku waktu itu hanya sebagai bagian dari kegiatan anak-anak yang butuh mengekpresikan diri. Yang ku tahu, aku tak pernah sampai mabuk-mabukan apalagi mencuri barang milik orang dalam jumblah besar.

Jika harus menceritakan bagaimana aku diperlakukan pada waktu kecil, itu akan cukup menggangu pikiranku pada saat ini. Yang jelas saat itu aku cukup takut jika harus meninggalkan salat lima waktu dan hal itu cukup jadi pegangan bahwa aku cukup religius. Mulai dari lahir samapi dengan masa SMP aku tingal dirumah bersama kakak dan bapakku. Hingga pada akhirnya saat menuju masa SMA aku membuat keputusan untuk bersekolah di Blitar. Keputusan itu tentunya didorong oleh keadaan yang secara tidak sadar waktu itu aku anggap tidak nyaman. Aku baru bisa mengerti mengenai ketidaknyamanan itu pada tahun-tahun belakangan ini, dan aku bisa menjelaskannya dengan cukup gamblang. Tapi sudahlah, semua itu sudah berlalu cukup jauh.

Aku memasuki jenjang SMA dan aku seperti membangun dunia baru di kota cukup jauh dari tempat lahirku. Mungkin itu memang sebuah kota yang berbeda dengan kepribadian tiap orang yang kurang lebih sama. Aku hanya butuh mengenal nama-nama baru dan juga tempat-tempat baru, dan itu cukup lama aku pelajari. Di sana aku disuruh tinggal di pondok dengan suasana seperti pesantren, kukira itu sebuah lingkungan yang tidak jauh dari tempatku yang sebelumnya. Karena itu rasanya aku malah jauh lebih religius dari sebelumnya. Disitulah terjadi pengaruh benturan pengaruh, dimana saat teman-teman lain dengan tenang tidak melakukan salat aku bisa kukuh untuk tetap salat. Hinnga akhirnya aku lulus dan memutuskan mengambil kuliah di Jogja dan kepribadianku berubah menjadi berbeda.

Pada tahun pertama masih bisa tertib salat karena lingkungan juga cukup religius. Namun bisa disadari bahwa pola pemikiran berubah menjadi lebih kritis. Entah itu sebuah bentuk kemajuan ataukah sebuah kemunduran -Bahkan dilihat pada saat ini pun hal itu masih sulit untuk disimpulkan-. Berlanjut ke tahun ke dua, aku mulai berjalan mengikuti keinginannku sendiri. Sepertinya itu masa dimana aku berusaha mencari jati diri  -yang sampai sekarang bahkan aku belum merasa menemukan-. Dari situ aku mulai membuka fikiran pada orang baru dan hal-hal baru lainnya. Aku juga mulai melihat sesuatu di masa lalu sebagai sebuah kesalahan. Dari situ juga mulai tumbuh dendam dengan masa lalu.

Di situlah mulai merasa ringan meninggalkan salat hingga kemudian dengan sengaja untuk tidak salat tanpa merasa terbebani. Hari demi hari berjalan dengan pengalam dan ego yang baru. Mungki buku-buku filsafat ada pengaruhnya pada pola pikir hingga sikap religiusitas, namun yang lebih banyak mempengaruhi tentunya lingkungan, kegiatan lain serta kemalasan pribadi. Cara pandang sebagai mahasiswa filsafat memnag cukup bisa membuat dimensi ketuhanan menjadi mengecil sehingga yang tampak adalah arogansi untuk menunjukan isi di kepala yang sebenarnya tak begitu lengkap. Dari situ bisa dikatakan aku tersesat dan tak sadar bahwa aku sedang tersesat. Hingga kemudian aku mulai jauh dan kesulitan untuk menapaki jalan mana yang sebelunya telah kulewati. Berkali-kali aku berusaha untuk kembali tertib dalam soal salat lima waktu, namun pada akhirnya tidak terlaksana. Rasanya masih cukup ringan untuk meninggalkannya dalam kesibukan yang sebenarnya bisa untuk diupayakan. Aku baru sadar bahwa pada akhirnya ibadah hanya sebagai pengisi waktu luangku. Atau kegiatan dimana aku sendiri dan merasa tertekan. Perasaan seperti itulah yang saat ini berada di hatiku.

Bahkan sampai saat ini aku masih belum mantap untuk merasa bahwa aku akan benar-benar bisa tertib kedepannya. Aku sudah tidak mau lagu untuk menuliskan sesuatu yang optimis di masa depan. Bukan karena aku tidak lagi bisa berfikir seperti itu, tapi lebih karena merasa akan menyia-nyiakan ungkapanku yang pada akhirnya kubuat kecewa.

Ah sudahlah. Aku ingin mengakhiri tulisan ini dan berlanjut ngopi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"