Yang Tersisa Dari Rumahku
Di rumahku tidak ada apa-apa. Bukan berarti di sana tidak ada sesuatu pun. Melainkan tidak banyak hal yang kuanggap istimewa. Tidak ada sesuatu mulai dari perabotan sampai pada kenagan. Ada cukup banyak Ingatanku tentang rumah yang itu lebih berupa kepahitan, dan belum lama ini aku bisa dengan jujur menceritakannya pada orang lain. Sebelumnya aku bahkan tak menyadari bahwa itu adalah perilaku buruk saudarku untukku.
Di saat teman tengah bercerita mengenai keluarganya, aku juga bercerita keadaan dengan keluargaku. Namun cerita itu berupa kebohongan. Berupa hayalanku sendiri mengenai keluarga yang kuidealkan dan kuanggap istimewa. Tapi pada waktunya kita akan sampai pada ketidakterimaan jiwa, yang kemudian itu menuntu kita untuk jujur pada diri kita sendiri. Kita mulai melihat bahwa reflek sikap dan kecenderungan kita hari ini adalah akibat dari bagaimana kita terus diperlakukan pada waktu kecil. Perlakuan yang buruk saat kita kecil akan memunculkan rasa ketidakterimaan dan juga dendam yang kuat.
Namun yang kurasa lebih menjengkelkan adalah, saat aku sudah mulai terbuka dengan apa yang terjadi pada masa itu, dan berani untuk mengungkapkannya, ternyata pihak yang bersangkutan (dalam hal ini saudara-saudaraku) juga tidak merasa bersalah atas apa yang terjadi.
Semua merasa biasa saja, tidak menganggap bahwa perlakuan mereka itu membekas dan berdampak pada kehidupanku saat ini. Mereka merasa tidak perlu minta maaf, tidak perlu bertanggungjawab lebih, dan tidak perlu memperbaikinya. Semua dianggap sudah selesai dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Jelas aku tidak setuju dengan hal itu.
Menganggap persoalan itu sudah tidak ada sama saja dengan menghindar dari tanggungjawab atasnya. Menghindar dari persoalan itu adalah membiarkan masalah tidak selesai, dan itu tidak akan membuat kemajuan. Hal itu akan menghentikan langkah batin kita pada rasa tidak terima akan hidup.
Tak adalah yang lebih membelenggu dari pada hati yang masih mendendam. Rasa tidak terima akan semua yang terjadi itu akan menjadi kangker, dan bisa mengganas jika suatu saat ada momentum untuk meluapkannya. Hal seperti itu akan merugikan semuanya.
Akan membuat banyak orang hanya memandang satu sisi dari apa yang terjadi. Bila aku yang melalui itu, orang juga tidak akan memandangku sebagai korban. Aku makah akan tampak sebagai pelaku yang bersikap seenaknya sendiri.
Dalam hati kecilku, aku tidak mau untuk dianggap seperti itu. Namun entah bagaimana, aku begitu ingin melakukannya. Ingin aku mendamprat setiap orang yang dulu bersikap buruk padaku, lebih khusus pada saudara-saudaraku. Karena dari merekalah semua keadaan buruk itu berpangkal. Merka dulu bebas menjelekkanku di depan keluarga lain. Mereka tidak pernah membela diriku di depan orang lain. Bahkan mereka bangga menghajarku di depan orang lain. Bahkan aku merasa aku lahir untuk disalahkan dan dituntut seenak mereka sendiri.
Tapi entahlah. Semua itu adalah rangkaian dari perspektif ku sendiri. Dimulai sejak aku sudah bisa menyadari keberadaan diriku di tengah mereka. Saat di mana aku mengerti tentang posisi ku dan posisi orang lain. Juga membandingkan hidupku dengan hidup yang keluarga orang lain yang penuh kasih sayang, meski tidak tampak baik-baik saja.
Pengetahuan soal perspektif itu juga yang membuatku tidak bisa menyesali kecenderunganku dan apa yang sudah kulakukan. Karena semua itu tidak hadir dari ruanh kosong. Semua itu hadir akibat dari repetisi dan komposisi sikap yang diberikan kepadaku saat aku masih kecil hingga dewasa. Mungkin semua itu adalah beban jiwa yang musti kutempuh dalam hidup ini. Tidak untuk diratapi atau makah Dibuat sebagai alasan. Bila memang aku lahir dari kenyataan keluarga yang seperti itu, maka tugasku adalah menghadapi hal itu.
Mungkin ini yang disebut dengan pencarian diri. Sebuah penghayatan mengenai kelahiran kita di dunia dan berbagai peristiwa yang menyertainya. Semua itu akan membentuk diri kita, juga membawa jiwa kita untuk mulai mensikapi dunia dengan cara kita.
Ternyata mengenali diri itu tidak serumit ide-ide dasar filsafat. Mengenli diri itu adalah bagaimana kita melihat masa lalu yang ternyata hal itu mengkondisikan diri kita saat ini. Dan dari pemahaman itu kita mempu merangkau sebuah sikap untuk masa depan.
Semoga saudara-saudaraku termaafkan.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya