Salju, karya Orhan Pamuk

Pendahuluan

Buku ini berjudul Salju. Karya dari penulis Turki yang telah mendapatkan hadiah nobel sastra, Orhan Pamuk. Ilustrasinya berupa foto yang cukup sederhana. Namun ketika aku membaca novel ini, aku menganggap bahwa, seluruh isi novel ini terwakili oleh covernya. Atau sekurang-kurangnya mungkin delapan puluh persen dari cerita.

Orhan Pamuk

Buku fiksi ini terbit pada tahun 2004, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit SERAMBI pada tahun 2005. Cukup cepat, mengingat karya ini sudah diakui oleh lembaga dunia. Mungkin juga karena reputasi sang penulis dengan karya-karyanya sebelumnya. Seperti, Istanbul, dan Namaku Merah.

Ini adalah buku pertama yang aku baca dari Orhan Pamuk. Aku tertarik sebab dia sudah memenangkan penghargaan Nobel. Juga asumsiku mengenai isinya.

Karena Turki adalah bekas kekaisaran Islam yang pernah mempengaruhi dunia, maka bisa dipastikan bahkan ceritanya akan kental dengan nuansa islam. Namun di sisi lain, Turki juga merupakan bagian dari Eropa sekarang. Bagian dari kawasan modern yang menjadi kiblat peradaban dunia. Aku merasa akan menemukan banyak pemikiran, atau ide yang menarik -setidaknya menurutku- dalam novel ini.

Ternyata apa yang menjadi ekspektasiku benar. Novel ini tidak hanya menghadirkan cerita cinta yang epik, tapi juga membicarakan banyak ironi mengenai benturan ide yang ekstrim, dan berdarah-darah. Dalam momen-momen tertentu, novel ini juga menceritakan soal spiritualitas yang mendadak dapat disadari.

Latar

Dalam pelajaran sejarah dunia, kita pasti sudah pernah diberi cerita mengenai Mustafa Kemal. Seorang pemimpin Turki pasca kekhalifahan Utsmaniyah -atas jasa-jasanya, dia di beri gelar Ataturk, yang artinya bapak bangsa Turki-. Orang yang merubah Turki, dari yang awalnya monarki menjadi republik. Merubah ideologinya menjadi negara sekuler. Yakni memisahkan urusan agama dan urusan pemerintahan. Bahkan tidak hanya secara administrasi, namun juga secara budaya.

Model perubahan itu tidak dilakukan dengan cara perlahan, tapi dengan banyak pemaksaan, bahkan menggunakan militer. Peperangan antar kelompok pun tak dapat dihindari. Di saat wilayah pusat sudah dapat dikendalikan oleh pemerintah, ide-ide yang tidak sejalan dengan pemerintah masih bergejolak di wilayah pinggiran. Salah satu tempat itu adalah Kars, sebuah kota di sebelah timur Turki, yang berbatasan dengan Armenia dan juga Rusia.

Di sanalah terjadi konflik yang didasari atas kepentingan liberalisme, Islam politik, dan juga komunisme.

Karakter

Setelah lama menjadi buangan politik di Jerman, Ka akhirnya pulang ke Turki. Mengunjungi Kars, tempat dia menjalani masa kecilnya. Maksud dari kunjungannya ke Kars adalah, untuk membuat berita mengenai kasus bunuh diri yang marak terjadi, dan kebanyakan pelakunya adalah wanita.

Alasan dari para wanita itu bunuh diri adalah, tekanan yang dia dapatkan karena memakai jilbab. Juga penolakan mereka untuk melepaskan jilbabnya, yang hal itu dipaksakan olehnya institusi pendidikan, dan juga lingkungan sosialnya.

Tapi sebenarnya niat utama Ka kembali ke Kars adalah wanita bernama Ipek. Teman sekolah sewaktu di Ankara. Dia kembali ke Kars karena mengetahui Ipek sudah menjanda. Cintanya pada Ipek, membuat Ka mencari alasan untuk pergi Kars. Menyatakan cintanya pada Ipek dan mengajak hidup bersama di Frankfurt, Jerman.

Sebagai tokoh utama, Ka lebih mirip seorang introvert yang kesepian. Kehidupan modern dan liberal tidak lantas membuatnya bahagia. Ada kerapuhan dalam kebebasan yang dia jalani. Juga ada kerinduan akan cinta, dan juga pada Tuhan. Kars tidak hanya membuatnya bertemu dengan Ipek, tapi juga merasakan adanya Tuhan. Sebagaimana ada momen di Kars yang membuatnya merasa didatangi oleh Puisi.

Alur

Menurutku, novel ini memakai konsep Post-modern, dimana sang penulis adalah tokoh utama, namun ia juga menciptakan tokoh utama yang lain. Atau mungkin, sudut pandangnya adalah "orang ketiga serba tahu, yang kemudian menjadi tokoh utama di akhir cerita".

Cerita diawali dengan perjalanan Ka ke Kars, yang kemudian berlanjut pada pertemuannya dengan banyak orang. Pertemuan itu dalam rangka mencari informasi mengenai gadis-gadis yang melakukan bunuh diri. Aneka tragedi menghampirinya, mulai dari pembunuhan direktur kepala pendidikan, hingga malam teater yang kemudian menjadi sebuah revolusi.

Kejadian itu merubah banyak hal dari keadaan Ka. Di sisi lain dia juga tampak diuntungkan dengan kejadian itu. Sebab membuatnya bisa menjadi lebih dekat dengan Ipek. Namun akhirnya sebuah informasi terbaru membuyarkan perasaannya. Juga membuat dia membuka sisi rapuh dalam dirinya. Keadaan menjadi semakin parah, saat pada akhirnya Ipek tidak bersedia ikut dengannya ke Frankfurt.

Yang menurutku mengesankan dari buku ini adalah, percakapan Ka bersama Necip, dan Fazil. Dua sahabat jiwa yang -mungkin hanya menurutku- lebih hebat dan kuat dibandingkan Ka. Pandangan mereka mengenai Tuhan dan Cinta begitu kuat. Sampai-sampai, Ka sendiri tidak mampu merasa sekuat mereka berdua.

Penutup

Buku ini begitu gamblang menceritakan benturan antar ideologi yang ekstrim, atau mungkin bisa dibilang "radikal". Bagaimana pandangan -politik- modern yang begitu ekstrim juga malah membentuk pemerintahan yang yang lalim dan otoriter. Dalam banyak hal, penerapan dari sistem sekularisasi itu juga banyak melanggar HAM.

Pandangan ini pula yang kemudian membuat kaum agama menjadi sama ekstremnya. Menurutku, pandangan dunia yang baik, bila diterapkan dengan otoriter malah akan membangun banyak konflik. Kemudian menjatuhkan banyak korban. Atau mungkin, keseimbangan itu akan terjadi apabila dua sisi yang ekstrim saling berbenturan. Setelah banyak korban berjatuhan, mereka akan menyusun ideologi baru di tengah.

Komentar