WASIAT DESA SIMBAH
Cerita ini terbit pertama kali di autarkia.id
Tidak banyak yang bisa aku ceritakan dari desaku. Hanya beberapa kenakalan pribadi yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Kadang mencuri mangga di kebun pak Yono. Kadang juga berenang di kedung[1] sampai sore, dan saat aku pulang terlalu sore, maka sudah pasti bapak menunggu di depan rumah dengan kayu bakar di tangannya. Saat itu aku akan menangis kesakitan dan merasa kapok. Namun pada akhirnya besok aku akan melakukan hal yang sama.
Atau mungkin kenangan ketika masa
sekolah dan mengaji. Saat itu aku selalu berangkat sekolah bersama teman-teman.
Dimulai dari menghampiri Eko, kemudian ke rumah Yudi, dan kita bertiga
berangkat ke sekolah bersama. Pulangnya kita mampir dulu ke rental PS2, atau ke
tempat billyard. Hari ini mereka berdua sudah merantau. Eko merantau di
Kalimantan. Kabarnya dia ikut proyek Reklamasi di sana. Sedangkan Yudi menjadi
TKI di Malaysia.
Yang paling membekas dalam
ingatan adalah kenangan tentang simbah. Ayah dari bapakku. Aku tak pernah lupa
untuk berkunjung ke sana jika aku sedang pulang ke rumah. Ia memang bukan sosok
yang ramah. Namun ia selalu memberikan air kelapa segar saat aku berkunjung ke
sana. Hal itu selalu membuatku betah, dan kadang bersedia menginap jika ada
waktu.
Pada suatu ketika aku dimarahi
oleh ibu sebab aku datang ke rumah simbah sendirian. Dengan polosnya aku
meminta kepada simbah untuk di petikkan air kelapa, dan simbah melakukannya.
Belakangan aku tahu kalau waktu itu simbah sedang sakit, tapi tidak mau untuk
diajak berobat oleh bapak. Hal itu membuatku merasa bersalah dan semakin sayang
dengan simbah. Setahun yang lalu, saat ia akan dikuburkan, aku tak bisa menahan
tangis atas kasih sayang yang belah ia berikan.
Aku jadi teringat bahwa simbah
suka sekali bercerita tentang masa lalu. Tentang jaman Jepang, dan terutama
juga tentang tokoh-tokoh dalam babad desa kami. Tentang Mbah Rantamsari yang
katanya adalah penjaga batas di desa. Juga tentang Mbah Tegalsari yang adalah
orang yang pertama kali babad desa. Orang-orang menyebutnya dengan nama Mbah
Tegalsari sebab beliau berasal dari daerah yang bernama Tegalsari.
Simbah menjelaskan mengenai
wasiat dari mbah Tegalsari, bahwa masyarakat di desa ini tidak boleh
menggantung Gong. Artinya setiap pertunjukan yang mengandung unsur Gong yang
digantung tidak diperbolehkan. Jika hal itu dilanggar, maka akan terjadi
bencana yang tidak diinginkan. Hal itu cukup menjelaskan padaku kenapa aku
tidak pernah menyaksikan tontonan seperti Wayang Kulit, Jaranan, dan aneka
tontonan yang mengandung unsur Gong. Aku selalu menonton acara seperti itu di
desa sebelah.
Pesan itu sepertinya menjadi hal
yang turun temurun di desa kami. Sebab sampai saat ini aku belum pernah melihat
ada yang membuat acara seperti itu. Namun karena acara dangdut-an tidak
mengandung unsur gong, maka orang bisa dengan senang hati mengadakannya.
Biasanya berbarengan dengan acara Sunantan atau nikahan. Sebagaimana umumnya
acara nikahan di lingkungan abangan, hari pertama akan di isi dengan istighosah
dan slametan, kemudian hari kedua baru dimulai acara dangdutan. Temanku pernah
nyeletuk mengenai hal itu, dia bilang, beginilah Islam kita, habis magrib
berangkat tahlilan. Setelah isya’ dilanjut dengan dangdutan. Sebuah
ungkapan yang menurutku asyik, namun pasrah.
Suatu hari saat aku akan
berangkat untuk belajar di kota, aku berpamitan dengan simbah.
”Mbah, kulo ajeng pamit
belajar teng kota nggeh.”
“Kapan budalmu cung”
“Mebjang seloso insyaallah.”
“Oh, yowes. Tak dongakno kasel
lekmu nggolek ilmu, lan mugo-mugo iso manfaat. Sepurane mbah e ora iso
nyanggone opo-opo.”
“Nggeh. Pangestune mawon nggeh
mbah.”
“Seng ati-ati lo cung. Belajar
seng tenanan. Jaman saiki akeh wong pinter nanging podo keblinger. Jamanku
mbiyen sekolah mung SR (Rekolah Rakyat). Seng penting iso moco karo nulis
tok. Jaman saiki sekolah do aneh-aneh, wong isone yo aneh-aneh, banjur mikire
aneh-aneh. Akhire kelakuane podo aneh-aneh, malah podo ora mikiri nasipe wong
liyo. Lek iso koe sok nek pinter yo kudu iso mikiri nasipe wong liyo lo cung.”
“Nggeh mbah. Insyaalah.”
“Yo ojo insyaallah. Kudu ngono
!!. Wong koe sek sekolah duwur kok”
“Nggeh mbah.”
Aku masih mengingat pesan itu
sampai saat ini. Untuk menjadi hebat dan juga bermanfaat bagi orang lain. Hal
itu sungguh ide yang tak semudah dalam pengucapannya. Saat aku membaca mengenai
istilah Marhaen di dalam buku Bung Karno, ingatanku langsung tertuju pada
mbahku. Petani yang menggarap sawah miliknya sendiri, namun tetap tak bisa
dibilang sejahtera dalam indeks ekonomi.
Sampai hari ini pun desaku masih
tetap terasa sama seperti sepuluh tahun yang lalu, bahkan lebih sepi. Sebab
sebagian besar pemudanya merantau ke kota, atau bahkan ke laur negeri. Sudah
tidak ada lagi sekumpulan anak muda yang nongkrong di pos kamling sambil main
gitar. Terkadang, karena segan untuk mabuk di depan umum, mereka melakukannya
di pinggir sungai dekat kedung aku dan teman-teman biasa berenang.
Namun menjelang aku SMA kedung
itu sudah tak nampak lagi. Air sungai menjadi sangat surut. Kabarnya dari hulu
sungai itu sudah di bagi ke kanal yang berbeda, entah itu kebijakan siapa? Dan
entah mengapa harus begitu. Dulu kupikir hal itu untuk membagi jatah air pada
masyarakat yang membutuhkan di wilayah lain. Namun jika memikirkan hal itu saat
ini, aku menjadi selalu curiga dengan kepentingan para elite.
Saat air sungai menjadi cukup
surut, batu-batu sungai menjadi nampak. Masyarakat di sana berbondong-bondong
untuk bekerja menjadi pemecah batu dan dikumpulkan. Sepertinya batu pecahan itu
akan dijadikan sebagai bahan proyek pembangunan di kota. Harga untuk setiap
kubiknya adalah tiga ribu perak. Harga itu kukira sepadan pada waktu itu, namun
belakangan kutahu bahwa harga itu teramat murah. Ya begitulah. Masyarakat desa
kadang lebih banyak menjadi korban atas kekayaan alam yang mereka miliki.
Suatu hari aku ngobrol dengan
temanku yang kabarnya sudah ada pabrik di daerahnya.
“Daerahmu sekarang maju ya bang.
Sudah ada pabrik yang berdiri di sana. Jalannya pasti sudah ber-aspal sekarang.”
“Ya sebenarnya juga tidak semaju
yang dibicarakan orang-orang sih. Ada banyak fakta menyakitkan yang sengaja
entah sengaja di tutupi, atau mungkin orang memang tidak peduli. Kalo soal
jalan aspal itu kan ya untuk kepentingan pabriknya, bukan untuk kepentingan
masyarakatnya.”
“Memangnya fakta apa yang
menyakitkan?”
“Dahulu sebelum pabrik semen itu
dibangun, tanah persawahan masyarakat di sana di minta untuk di beli. Sebagian
memang setuju sebab anak-anaknya sudah pindah ke kota. Namun sebagian besar
masyarakat menolak untuk tanahnya di beli. Kamu tahu kan, pola pikir masyarakat
desa yang menganggap bahwa sawahnya adalah penghidupan dan juga masa depannya.”
“Iya bang. Orang-orang seperti
itu seperti juga mbahku.”
“Nah. Orang yang tidak mau
menyerahkan tanahnya dipaksa dengan menggunakan polisi dan juga tentara. Karena
pembangunan pabrik semen itu merupakan proyek nasional, maka mereka yang tidak
mau menyerahkan tanahnya dianggap tidak mau mendukung kepentingan negara. Mirip
seperti dulu kejadian di waduk Kedung Ombo. Sebagian orang ada yang
ditakut-takuti di rumahnya. Ada juga yang dirusak sawahnya dan menjadi gagal
panen. Hari ini mungkin kejadian itu tetap tak bisa terlupakan dari mereka yang
menjadi korban. Namun, cara orang memandang dari luar sudah sangat berbeda.
Padahal hari ini akses air bersih di sana sudah tak sebaik dulu. Ditambah
dengan limbah pabrik yang mengotori lingkungan.”
“Ehm, bagaimana ya bang. Aku jadi
teringat apa yang dikatakan oleh guru Geografiku dulu. Dia bilang, pembangunan
itu seperti buah simalakama. Kalau dimakan ibunya mati, tapi kalau tidak
dimakan bapaknya yang mati. Artinya pembangunan memang akan selalu menuai
korban, dan jika tidak ada pembangunan, desamu tidak akan seperti sekarang. Di
sana sekarang sudah ada jalan raya, dan mungkin sudah tidak seperti dulu
sinyalnya. Barangkali akses untuk ekonomi baru juga akan bertumbuh.”
“Aku tidak terlalu sepakat dengan
omonganmu, walau mungkin memang ada benarnya. Tapi bukankah seharusnya kita
menempatkan diri pada posisi para korban? Nilai tanah mungkin bisa terganti
dengan uang, tapi tidak dengan nilai kerja keras atas warisan leluhur kita.
Nilai dan rasa tak pernah bisa kita bayar, bahkan dengan hal yang sama. Sebab
momentumnya sudah akan berubah.”
Obrolan waktu itu memang belum
berakhir. Namun dari ungkapan terakhirnya aku jadi berpikir mengenai sisi tidak
manusiawi dari pembangunan yang terjadi. Sayangnya hal itu masih sering
terjadi. Mulai dari penggusuran pedagang kaki lima, serta kasus perampasan
tanah di Urut Sewu dan Kulonprogo. Cukup kompleks jika harus menunjuk pada
siapa yang salah, namun yang jelas memang ada sesuatu yang salah.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya