#3

Siang hari itu, sehabis hujan yang tidak begitu deras di Jakarta Pusat, tepatnya di depan Museum Nasional, aku benar-benar merasa ada di Indonesia. Di depan nilai budayanya yang tinggi, juga dengan ketimpangannya yang tidak kalah tinggi. Bangsa yang besar, sudah tentu memiliki masalah besar.

Di depan gedung museum nasional. Aku berhenti untuk beberapa waktu. Bersama orang-orang yang sedang berteduh di halte depan pagar museum. Ada dua pemulung perempuan yang sedang mengobrol dengan seorang kopi keliling. Mereka membeli kopi, dan salah satunya meminta sebatang rokok. Melihat raut muka dan cara penampilan penjual kopi keliling itu, aku bisa tahu dia orang mana. Di pojok kiri halte ada dua orang bapak-bapak yang entah sedang menunggu apa. Aku juga tidak tahu mereka sedang membicarakan apa, sebab aku juga tidak peduli. Yang kutahu mereka hanya mengobrol dengan “logat Jakarta”. Juga ada tiga orang tukang kebun yang sedang menurus tanaman di pinggir jalan. Mereka tampak menggunakan seragam, yang  kemudian dibalut dengan jas hujan. Tentu aku tidak akan memotret mereka. Aku tidak mau seperti Sarah yang menganggap Si Doel Anak Betawi sebagai objek penelitiannya.

Aku menahan diri untuk masuk ke museum. Dilihat dari luar, Museum ini tidak tampak membuka diri untuk mengundang orang masuk ke dalamnya. Sebagai seorang yang berjalan dari luar daerah, aku ragu apakah orang sepertiku boleh masuk. Dari luar pun tidak terlihat ada keramaian orang untuk berkunjung. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya pada seorang tukang kebun. Saat aku tengah memanggilnya dari belakang dengan kata “mas”. Tukang kebun itu menoleh, dan ternyata yang kutanya adalah seorang wanita. Aku sama sekali tidak menyangka. Orang yang cukup muda, dan dia pun berdandan saat sedang bekerja.

“Apakah saya bisa masuk ke Museum Nasional?”

“Iya gak papa. Masuk saja.”

“Terima kasih”

Aku masuk melewati gerbang museum itu, bersama keyakinan bahwa tempat ini boleh dan terbuka untuk dikunjungi. Entah bagaimana? Sebegitu minder nya aku di ibu kota ini. Bahkan untuk masuk ke ruang publik saja harus bertanya pada orang lain. Mungkin begini rasanya menjadi turis di negeri sendiri.


Aku bahkan tidak sempat terpikir bahwa ada tiket masuk untuk mengunjungi museum. Namun aku bisa menerima hal itu. sebab menurutku tiket itu bukan hanya soal retribusi, tapi juga kontribusi. Tidak mahal untuk ukuran pengunjung daerah sepertiku, tapi akan tampak mahal jika aku harus sering ke sana. Walaupun aku tak bisa membayangkan akan mengunjunginya lebih dari satu kali. Museum bukanlah perpustakaan tempat kita membaca buku yang berbeda setiap berkunjung. Bukan juga seperti bioskop tempat kita datang untuk menonton film yang berbeda dari sebelumnya. Museum bagiku adalah tempat benda-benda yang cukup kita nikmati satu kali. Selebihnya mungkin akan menjadi tugas kerja.



Lingga dan Yoni 


Saat pertama kali masuk kita akan disambut oleh “batu-batu” dari masa lalu. Ada arca, ada prasasti, ada roda darma, dan juga ada lingga dan yoni. Dalam bayanganku, benda-benda itu adalah artikulasi budaya pada zamannya. Satu bentuk pengejawantahan dari ide dan gagasan untuk menjalankan kebudayaan. Sama halnya ketika Ir. Soekarno membangun monumen nasional dan juga berbagai patung di Jakarta pada masa setelah merdeka. Masa lalu haruslah tetap menjadi masa lalu. Tugas kita adalah mengenalnya. Aku tidak merasa sedang berkunjung ke masa lalu, tapi  sedang menyaksikannya di museum. Aku bahkan tak menemukan alasan untuk kesini pada lain hari. Tapi setidaknya sekali dalam hidupku melakukannya.

Roda Darma

Sewaktu aku mulai masuk di ruang-ruang, mulailah aku berganti menyaksikan benda-benda dipajang. Mulai dari alat musik tradisional, fosil pra-sejarah, karikatur budaya, dan aneka peninggalan budaya lainya. Berbicara soal “peninggalan”, sebenarnya aku kurang sepakat dengan kata itu. aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Apakah nenek moyang kita dahulu benar-benar berniat meninggalkan budaya dan benda-bendanya itu untuk kita? Atau itu merupakan karya untuk kehidupan mereka waktu itu, dan kita juga harus menjalani hidup kita saat ini. Apakah nenek moyang kita itu berharap apa yang mereka tinggalkan akan terus ada? Sehingga kita berkewajiban untuk melestarikannya? Atau kita sendiri yang menganggap masa lalu itu penting untuk dilestarikan. Nenek moyangku seorang pelaut. Apakah kita juga harus jadi pelaut? Menurutku tidak.







Aku lupa namanya. Hehe

Perubahan lambang negara




Keris Pusaka



Padasan

Ah, aku berpikir terlalu kacau karena mengingat perjalanan itu. aku tidak terlalu menikmati saat-saat di museum itu, tapi aku tak bisa melewatkan setiap ruang yang harus dikunjungi. Kupikir kegiatan ini akan sama dengan membaca.

Di dalam beberapa saat. Aku melihat beberapa rombongan anak sekolah berkunjung di dampingi gurunya. Ada anak-anak TK yang bertamasya, sembari ditunjukkan miniatur dalam kaca, dengan bahasa seperti sedang bernyanyi. Ada juga anak-anak SD yang kebanyakan bermata sipit, dan bahkan sebagian sudah berkacamata, yang dibimbing gurunya soal artefak dan benda budaya. Juga anak-anak SMP yang suka mengambil foto Selfy di dalam museum. Dalam hatiku berkata, mereka termasuk anak sekolah yang beruntung, bisa belajar sembari menikmati museum. Tidak seperti banyak anak daerah yang hanya bisa belajar sejarah di dalam kelas. Jangankan pelajaran sejarah, bahkan pelajaran komputer pun hanya sebatas teori di buku LKS, begitu yang ku alami saat di MTs dahulu.

Keinginanku untuk tidak melewatkan apa pun yang dapat dilihat, membuatku tidak sadar kalau aku sudah dua jam di museum itu. waktu sudah menunjukkan hampir jam 2 siang. Aku belum bosan, tapi kupikir lebih baik aku keluar saja dan menuju ke hotel. Bahkan sebenarnya aku merasa lapar, tapi aku cukup enggan untuk mencari makan di tempat seperti ini. Kurasa nanti di Hotel pasti ada makanan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"