Pada Suatu Hari

Katanya mengawali cerita dengan kata “pada suatu hari” adalah hal yang buruk. Kata siapa? Kata para penulis yang merasa sudah bisa menulis lebih baik. Benarlah hal tersebut? Kupikir tidak. Karena tetap ada cerita jaman dahulu yang diawali dengan kata itu dan tetap bagus sampai sekarang. Bisa jadi itu adalah soal isi ceritanya, bisa juga soal bagaimana cara menceritakannya. Cerita yang bagus tetaplah cerita bagus. Bukan cerita yang diawali dengan ini atau itu, tapi cerita yang ditulis dengan hati.

Tapi pendapat itu adalah sudut pandang baru dari generasi masa kini. Sebuah pemberontakan atas nilai-nilai dan juga cara berpikir lama. Jika hanya duduk nyaman dengan cara lama akan banyak berisiko. Risiko tertinggal dan akhirnya meninggal.

Namun aku harus tetap mengawali cerita ini dengan kalimat itu. Karena dalam cerita ini ada peran masa lalu bersama dengan rasa romantismenya. Kau boleh saja menganggap ini terlalu berlebihan. Atau kau malah enggan untuk melanjutkan membaca. Tapi bagiku itu tidak menjadi masalah. Tak perlu juga kau membacanya jika kesan pertama dalam tulisannya ini memang tidak menarik. Karena rasa terpaksamu bisa membuatmu merasa membuang waktu sia-sia.
🌻
Pada suatu hari yang kau anggap istimewa. Karna memang semua orang secara pribadi menganggap hari itu istimewa bagi dirinya. Hari di mana banyak orang berdoa bahagia untukmu. Berharap kau panjang umur dan sehat selalu. Serta ungkapan-ungkapan klise lainnya. Tapi mungkin juga sebagian dari mereka mengatakan dengan tulus. Itu adalah hari pertama kau menangis di dunia dan orang-orang di sekitarmu sama tersenyum bahagia menyambutmu.

Kau mengingat kembali apa yang teman-temanmu ungkapan. Juga mengingat banyak hal yang membuatmu tersenyum simpul. Sedikit membuat kau merasa bahwa ada banyak harapan yang pada dirimu, yang diucapkan sambil tersenyum bahagia. Kau merasa bahwa harapan itu tak akan sia-sia. Padahal hanya hari itu saja harapan itu ada. Selebihnya semua berjalan seperti biasa. Semua orang berjalan pada koridor masing-masing. Kau mengikuti nalurimu dan mereka pun juga mengikuti nalurinya.
Pada hari ini kau sendiri. Handphone yang biasa menerima pesan-pesan berupa selamat ulang tahun ya kawan. Semoga sehat selalu. Kita traktiran di mana ini? Tak lagi mampu menghampiri dirimu. Kau membiarkannya tidak menyala. Kau lebih memilih di sini bersama dengan kesendirianmu. Sedang dalam kesendirianmu itu, kau tak tahu hendak bagaimana? Atau harus bagaimana? Kau hanya termenung dalam kesendirianmu.

Ada sesuatu yang menempel di pikiranmu. Sesuatu itu lebih seperti ubur-ubur yang melekat di batu karang, yang tak tergoyahkan sama sekali oleh gelombang air yang datang. Tanggal itu seharusnya menjadi masa yang kau lupakan dalam kalender tahunan. Karena tepat di sana kau sudah menggadaikan cintamu dengan hal tak seharusnya kau lakukan. Tentu sebagian orang bisa mengerti bahwa itu naluri. Namun sebagian lainnya akan menganggap itu sebagai tabu tingkat tinggi.
Kau memang sudah merasa menyesal, tapi sesal itu tak ada gunanya. Kini semua konsekuensi dari yang kau lakukan itu sudah menubuh dalam dirimu. Bahkan menghadapi konsekuensi dari psikologimu sendiri kau merasa tak sanggup, sedang konsekuensi sosial datang baik di depanmu atau dari bisik-bisik di belakangmu.
Mungkin kau sempat punya pikiran untuk bunuh diri. Merasa hidupmu sia-sia belaka. Merasa sudah tak ada lagi harapan dalam hidupmu dan kau pikir, cara terbaik adalah mengakhiri semuanya. Namun di sisi lain, rasa takutmu lebih besar dari keinginanmu yang pertama. Kau takut akan rasa yang lebih sakit dari yang saat ini terjadi. Kau juga takut pada neraka. Apa itu neraka? Dia adalah sesuatu yang secara malu-malu kau masih mengingatnya. Benar bukan?
🌻🌻
Aku tidak tahu apakah awal cerita yang kutulis tadi cukup menarik bagimu. Jika tidak, hal itu lebih pada soal kebodohanku dalam mengolah kata. Tapi semakin lama aku belajar soal mengolah kata, aku malah semakin muak dengan cara itu. Aku baru sadar bahwa ternyata kejujuran lebih penting darinya. Sudah banyak buku yang aku baca (setidaknya itu menurut ku dan tak perlu dibandingkan denganmu), namun bacaan yang sampai saat ini masih melekat dalam jiwa adalah sekumpulan kalimat yang dibuat dengan jujur. Sedang aku memiliki definisi sendiri mengenai kalimat yang jujur. Kumpulan kalimat itu bisa berupa karya ilmiah, biasa juga puisi atau prosa. Tapi yang terpenting dari sana adalah, kalimat itu mampu menyentuh frekuensimu sebagai manusia.

Sampai di sini cerita ini masih kuanggap menarik. Lagi-lagi ini menurutku. Bukan karena ini cerita yang aku buat sendiri, tetapi lebih karena aku berusaha jujur dalam menceritakannya. Berusaha, karena aku tahu tak akan sepenuhnya bisa untuk jujur. Sebuah kejujuran itu pahit meskipun ia berharga. Sedangkan jujur pada diri sendiri itu sulit. Kau tak perlu mempercayai kata-kataku. Jika kau juga merasakannya, maka hal itu berarti benar hanya bagi kita.
🌻🌻🌻🌻

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"