#4
Baiklah, mari kita lanjutkan cerita yang membosankan ini. Walaupun cerita ini cukup datar, setidaknya cerita ini cukup menyenangkan diriku.
Aku pun keluar dari museum dengan perasaan cukup puas hari
itu. Setidaknya, sekali dalam hidupku pernah mengunjunginya. Walau bukan tempat
yang begitu kukunjungi, tapi aku sudah tidak penasaran lagi dengan isinya. Aku keluar
dengan perasaan lapar yang kutahan sejak satu jam tadi. Tidak ada rencana
untuk memesan ojek online. Kupikir akan cukup menyenangkan jika dilakukan
dengan berjalan. Dua kilometer tidak cukup jauh untuk menikmati perjalanan. Aku
keluar dari gerbang museum, menyeberang, dan bergerak ke sebelah kiri.
Siang itu trotoar tampak sepi. Sepertinya ini memang jalur
yang cukup sepi. Bukan jalur untuk mobilitas kerja. Ini adalah jalur tempat
orang bekerja di pemerintahan. Tidak banyak kutemui orang lewat. Tempat duduk
pinggir jalan pun banyak yang kosong. Aku sendiri tergoda untuk duduk dan
sejenak minum. Entah kebetulan atau tidak, ada tukang kopi keliling yang lewat
dari arah depanku. Dia pun menawariku kopi.
“Kopi Mix berapa mas?”
“lima ribu”
Aku pun memesannya. Dia bertanya aku akan ke mana. Aku menjawab akan ada acara dua sebuah hotel dekat sini. Dia pun beranjak pergi kemudian. Aku diam di depan seberang jalan RRI sambil menikmati sebatang rokok dan segelas Kopi Mix yang bagiku terlalu banyak air.
RRI |
Ada seorang turis yang bertanya padaku tentang sinyal di area ini. Aku pun menjawabnya singkat dengan kata “No.”. Tidak tahu apakah jawabanku kongkret atau tidak, tapi menurutku itu pertanyaan yang konyol. Pikiranku sendiri juga sedang tidak tergerak untuk beramah-tamah dengan Stranger. Kita sama-sama manusia, dan memiliki baik buruknya masing-masing. Kalau itu memang sifat buruk, hal itu tidak mencerminkan negaraku. Juga tidak mencerminkan keseluruhan atas diriku.
Satu batang rokok pun habis. Kurasa sudah cukup untuk
merokok, sebab kopinya juga kurang kunikmati. Kuinjak akhir nyala rokokku, dan
air sisa kopi tadi pun kubuang lubang selokan. Plastiknya kubawa ke tempat yang
agak jauh dari tempatku duduk. Aku melangkah ke tempat sampah sambil sembari
melanjutkan ke tempat tujuanku. Dari tempatku membuang sampah, sudah tampak Istana
Merdeka. Di depan seberang jalannya ada banyak turis yang sedang mengarahkan
kamera ponsel yang dia miliki ke istana. Aku sendiri pun juga mengarahkan kamera
ponselku ke arah istana. Aku tidak berniat mendekat ke istana itu. Langlah kakiku
sendiri malah tiba di sudut jalan yang terdapat tulisan dua sastrawan dan cendekiawan
hebat negeri ini.
Yakni Romo Mangunwijaya, yang bertuliskan.
TANAH AIR
DISANA, DI MANA ADA CINTA DAN KEBAIKAN HATI. DI MANA TIDAK ADA MANUSIA
MENGINJAK MANUSIA LAINN.
Dan juga HAMKA (Haji Abdul Muhammad Karim Amarullah). Yang bertuliskan:
“SALAH SATU PENGKERDILAN TERKEJAM
DALAM HIDUP ADALAH MEMBIARKAN PIKIRAN YANG CEMERLANG MENJADI BUDAK BAGI TUBUH
YANG MALAS, YANG MENDAHULUKAN ISTIRAHAT SEBELUM LELAH”
Ada banyak kutipan
hebat dari sastrawan negeri ini. Aku tidak menemukan alasan kenapa dua kutipan
ini yang dipilih. Kemungkinan berhubungan dengan isi dan semangat dari
kalimatnya. Juga pemilihan perbedaan dari masing-masing person tersebut. Romo Mangun
yang adalah seorang Pastor, dan HAMKA yang merupakan ulama. Pemilihan dua person
tersebut seperti penggabungan unsur yang berbeda untuk menjadi Indonesia. Kita adalah
bangsa yang dianugerahi kemajemukan.
Aku menyeberang
jalan di depan istana. Masuk di sebuah gang di antara istana negara dan Mahkamah
Agung. Melihat tulisan Mahkamah Agung, aku jadi teringat guyonan dari Mbah Emha
Ainun Najib soal Orang Madura.
Dulu itu
aslinya nama lembaga hukum itu adalah Kamah-Kamah Agung dan Kamah-Kamah
Konstitusi. Tampi setelah ada orang Madura yang jadi ketuanya. Akhirnya namanya
jadi berubah keMadura-Maduraan. Bukan Kamah-Kamah, tapi menjadi, MAHKAMAH. Jadilah
sekarang Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Aku tertawa sendiri mengingat Joke itu. Sebab nama mahkamah tentu merupakan serapan dari bahasa arab.
Setelah menembus
gang dari kedua bangunan milik negara itu, aku tak tahu sampai di mana. Kulihat
dalam Google map, tujuan masih cukup jauh. Aku menyeberang di sebuah jalan
besar. Melewati ranjau yang dibuat oleh polisi. Berjalan santai di trotoar
sambil melihat deretan toko dan orang-orang di sekitarnya. Pada akhirnya aku
sampai pada gapura dengan tulisan. “kawasan kuliner Pecenongan”. Aku masuk di
gang itu, dan kemudian berbelok di sebuah gang setelah cukup jauh dari gapura.
Berjalan di
gang itu. Aku melihat suasana yang sama saja dengan kehidupan yang kutemui pada
umumnya. Anak-anak naik sepeda BMX, ibu-ibu memakai daster mengendarai motor
metic, kios warung makan, penjual cilok, sebuah pasar kecil dengan aneka
sayuran. Suasana di Jakarta Pusat tidak jauh berbeda dengan desaku, jika dilihat
dari gang ini. Tidak seperti yang kutangkap dari layar monitor. Yang masih sama
hanyalah logat bicara yang sekilas kudengar dari orang-orangnya.
Aku tidak
tahu apakah perjalanan ini menarik dan penting untuk diceritakan. Namun terasa
begitu berhasrat untuk melakukannya. Dalam bayanganku, jika aku mencatatnya,
aku akan bisa menyaringnya di kemudian hari. Memilah mana yang benar dan yang
keliru. Meneliti untuk bisa mengambil yang bermanfaat.
Menarik Wan, aku suka bacanya
BalasHapusthanks is...
Hapus