Menulis Sebagai Sikap, Menulis Sebagai Seni

Bingung mau mulai dari mana. Yang jelas aku ingin menulis.

Tadi pagi aku menelefon ibuku, tapi tak diangkat. Kemudian aku menelefon mbakku yang saat ini berada di Singapura. Seperti biasa, aku tidak banyak bicara di hadapannya. Hanya menanggapi sedikit. Kebanyakan wanita yang kutemui sama dalam hal bicara, mereka hanya mau didengar. Mulai dari ibu, kakak, tetangga, saudara, bahkan mantan pacar. Aku tidak ingin membantah hal itu. Hanya butuh peduli pada hal-hal yang menurutku benar. Ku pikir mendengar bukanlah hal yang konyol. Walau kadang membosankan, tapi dia mengandung banyak kebijaksanaan.

Dari sekian jam aku menelefon dan mendengar omongan mbakku, aku bisa merasa kalau yang dibicarakan adalah kejujuran. Memahami ini terasa lebih baik. Sebab kejujuran dari sebuah kata itulah yang bermakna, bukan pesan yang dia sampaikan. Jika aku yang harus ngomong panjang lebar dengannya, Ku pikir akan lebih banyak kebohongan pada ucapanku. Rasanya beruntung karena lebih banyak mendengar.

Mbakku yang satu ini memang pandai bicara, senang bicara, dan yang jelas banyak bicara. Dia memang tidak sekolah sampai kuliah seperti aku, tapi menurutku dia lebih cerdas dan lebih percaya diri. Aku yang salah jika terlalu banyak melihat pada kegagalan dan kesalahan hidupnya. Seolah aku merasa hidupku lebih baik darinya.

Berkomunikasi dengan satu dari anggota keluarga terasa cukup bagiku, walaupun jelas itu tidak sopan. Seharusnya aku menelefon ibuku lagi, juga menelefon bapak, tapi masih enggan kulakukan. Entah kenapa? Sebab aku malas, aku tidak sukses hari ini, juga banyak hal yang membuatku berkecil hati. Mungkin ini adalah salah satu dari penyakit hati yang entah apa namanya. Seharusnya aku sudah tahu, kalau cinta bukanlah kata-kata. Cinta adalah keterhubungan. Bentuknya adalah komunikasi. Dalam komunikasi yang paling sederhana pun aku tak mampu menjalankannya. Dengan menyapa dan mengobrol. Justru lebih intens aku bergulat dengan menulis seperti ini. Rasanya seperti orang bodoh yang mengungkit-ungkit teori, dan tak peduli pada laku yang mesti dijalankan.

Pagi nanti aku berjanji pada diriku sendiri, akan menelefon ibuku dan kemudian bapak.

Malam ini kuputuskan meletakan ponselku. Aku diam dan kemudian membaca buku, juga sedikit menulis beberapa bait doa. Entah kesadaran apa yang membuatku membaca kembali buku yang kubeli empat tahun yang lalu. Buku karangan Almarhum Pak Prie GS. Ada banyak hal yang kucoba kembali untuk memahami. Namun di sana aku menemukan istilah yang begitu menarik perhatianku. Tentang menulis sebagai sikap, dan menulis sebagai seni.

Aku melihat kedua istilah itu sebagai etape yang harus dilalui dalam menuju apa yang disebut kecerdasan intelektual. Dua kata itu membuatku bertanya kembali pada diriku, sampai manakah aku dalam hal menulis? Rasanya aku belum juga serius pada yang pertama, yakni menulis sebagai sikap. Jika aku tidak bisa menguasai etape yang pertama, etape yang kedua tampaknya mustahil untuk dikuasai. Menulis sebagai sikap, sikap inilah yang saat ini mesti ditumbuhkan. Tak masalah jika harus terlambat. Sejak sekolah, aku cukup terbiasa dengan hal itu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"