Seperti Dosanya Orang Yang Mendustakan Agama


Tadi pagi, setelah membantu cuci piring dan menggoreng tempe dan tahu, aku sarapan dengan lauk sambal kecap kemarin. Mbak ku memandikan ibuku yang sakit dan juga mempersiapkan anak-anaknya untuk bersiap sekolah. Anak-anak kecil yang masih suka manja dan ribet. Bahkan untuk membangunkannya saja butuh banyak energi untuk berteriak, belum mandi dan makan, ditambah lagi untuk memakai seragam. Sungguh butuh energi yang prima setiap pagu untuk mengondisikan mereka.

Saat mbakku sedang memandikan ibuku, saat itulah aku sedang sarapan. Keponakannku yang tadi belum juga mau memakai sepatunya. Entah harus disuruh dengan model yang seperti apa agar dia mau memakai sepatu. Rasanya waktu TK, aku dulu tidak begitu. Kenapa anak sekarang yang begitu manja. Memang dia dalam kondisi ditinggal bapaknya sejak dalam kandungan. Aku mengerti dengan penderitaan itu. Tapi mereka tumbuh dengan begitu banyak pihak yang menyayanginya. Mulai dari ibunya, kakeknya, paman dan bibinya, banyak tetangga, simpati dari banyak pihak, dan termasuk aku juga sayang sekali dengan mereka.

Tapi rasa sayang yang ada untuknya tampaknya membuat dia lemah. Karena tak pernah dibentak, dan di kasari, dia menjadi ngelamak, gampang meremehkan nasehat, dan selalu ingin dimanja. Kupikir penyakit seperti ini tak bisa dibiarkan. Sebab sama saja dengan membodohi jiwanya. Pikiran seperti ini ada ketika tadi, saat dia tidak kunjung memakai sepatu dan malah bermain, padahal ibunya sudah berkali-kali berteriak menyuruhnya. Aku pun menyuruhnya ketika dia sedang berjalan di sampingku.

Ayo pakai sepatu le” kataku. Dia hanya bilang “haa” sambil memasang wajah bertanya. Aku bilang lagi “ayo pakai sepatu”, dan dia pun melakukan hal yang sama kembali. Aku pun marah dan serasa mau melemparnya, walau itu tidak akan kulakukan. Kulanjutkan lagi saja sarapanku, sedang dia pergi dan menangis karena kemarahanku.

Selesai ibunya dari kamar mandi, dia pun ditanya kenapa menangis. Tak kudengar jawabannya, apakah dia menangis karena aku atau tidak? Masih kulanjutkan makan dengan campuran rasa marah dan juga bersalah. Marah karena jengkel dengan modelnya yang tidak sopan dan meremehkan. Sesuatu yang kupikir adalah efek dari dirinya yang selalu diramahi dan dikasih hati. Sesuatu yang membuatnya malah merasa harus selalu dimanja dan tidak dikerasi. Namun aku juga merasa bersalah, sebab bagaimana pun dia adalah anak yatim. Berdosa besar sekali jika aku berbuat buruk dengannya. Bahkan bisa seperti dosanya orang yang mendustakan agama. Pagi itu, aku enggan untuk menganggapnya. Kuatur saja kakaknya yang sudah cukup dewasa dan tidak gampang menangis.

Kupikir memang susah untuk mengondisikan anak kecil yang terlalu dimanja, terlalu dianggap butuh disayangi tanpa butuh dididik  disiplin. Atau mungkin aku sendiri dendam dengan masa kecilku, yang terlalu banyak dibentak dan dikasari. Lalu aku menganggap semua anak juga perlu begitu.

Perasaan jengkel dan bersalah itu tetap ada bahkan ketika dia keponakanku itu sudah berangkat sekolah. Namun saat waktu semakin siang, perasaan itu marah menjadi meredup, tapi tidak dengan perasaan bersalah itu. Aku mulai bertanya, bagaimana hubunganku dengannya untuk selanjutnya? Akahkah aku masih bisa dekat lagi dengan keponakanku yang kusayangi itu.

Siang saya dia pulang dari sekolah, tampak dia membawa burung yang habis dia beli. Dia menyapaku, dan aku menjadi tersenyum untuk menyapanya kembali. Dia memamerkan buruh yang dibelinya kepada kakeknya dan kemudian memintaku untuk memasukkan burungnya ke kandang. Aku pun langsung bersemangat untuk melakukannya. Tampaknya dia sudah lupa dengan apa yang terjadi tadi pagi. Sedangkan aku yang terus bisa mengingatnya. Mungkin di situlah kehebatan anak-anak, mudah melupakan dan memaafkan, sedangkan yang tua masih saja merasa. Mungkin orang tua memang bukan dalam fase melupakan dan memaafkan luka, tapi lebih pada menerima dan mengikhlaskan.

Pelajaran yang kuambil dari kejadian ini adalah, seberapa pun perhatiannya aku kepada keponakanku ini, mungkin dia tak butuh pendidikan kedisiplinan dariku.

 

Komentar