Pengemis Di Warung Soto

Perasaan lapar membuatku mengajak orang untuk sarapan. Saat kita keluar, keputusan terbaik adalah berhenti di warung soto. Cuaca sedang panas, dan rasanya butuh makanan yang menyegarkan. Dalam hal ini, soto adalah pilihan yang masuk akal. Hanya semangkuk kecil porsinya. Namun kami berdua harus memaksa diri untuk mengenyangkan perut dengan itu. Sebab aku curiga sejak awa, harga soto ini pasti sekitar dua puluh ribuan. Meskipun rasanya juga tidak mengecewakan.

Aku selesai lebih awal dengan satu porsi kecil itu. Temanku langsung berkomentar, kalau tampaknya aku cukup kelaparan, dan kujawab, ya, aku memang merasa lapar sejak tadi.

Selesai makan, kami berdua menyalakan rokok masing-masing. Ngobrol hal-hal yang bisa untuk diobrolkan. Mulai dari soal belajar, sampai dengan soal politik hari ini. Tidak lupa juga membicarakan teman lain, atau rasan-rasan. Kupikir membicarakan orang lain bukanlah dosa besar. Apa lagi jika itu untuk meng-evaluasi diri dan keadaan. Akan menjadi masalah besar ketika membicarakan orang dalam rangka menggunjing kesalahannya, atau untuk meneguhkan bahwa kita lebih benar dari mereka.

Satu batang rokoku sudah habis, tapi temanku masih setengah. Aku tunggu dia menghabiskan rokonya, untuk kemudian pulang. Tak kuputuskan untuk menyalakan batang yang ke dua. Tampaknya tidak mengapa untuk berlama-lama, sebab warung itu sepi. Bahkan pembeli yang makan di tempat hanya aku dan temanku itu. Keberadaanku ngobrol di situ bisa menunjukkan kalau warung ini ada pelanggannya, begitu pikirku.

Ternyata temanku ini tidak puas dengan hanya satu batang saja. Dia lanjut menyalakan batang yang ke dua setelah habis rokok yang pertama. Dia menyuruhku untuk santai terlebih dahulu, toh masih dalam suasana Free.

Aku tak bisa menolak ajakannya untuk bertahan lebih lama lagi. Walau sebenarnya matanya juga lebih banyak menatap pintu. Dia tidak tahu karena kita duduk berhadapan. Saat itu aku melihat seorang yang naik sepeda dan kemudian berhenti. Kemudian pemuda itu berdiri di depan pintu dan mengatungkan tangannya. Tampak dia berbicara, tapi aku tak tahu apa yang dikatakannya.

Semakin lama aku mengerti kalau orang itu meminta sesuatu, dan aku tahu apa yang dia minta. Kuambil uang di tas dan aku berjalan untuk memberikannya. Sedikit kutatap orang itu dan kurasa aku “aku” di dalam dirinya. Sebab sudah lama aku merasa bahwa sebagian jiwaku adalah pengemis. Kadang aku berpikir kalau banyak orang juga pengemis, hanya tampaknya posisi mereka tidak sehina orang di jalanan.

Kita memang tidak berpenampilan seperti orang di jalanan, tapi selalu memiliki sikap “peminta-minta”. “Mengemis adalah sehina-hinanya orang”, begitu guruku pernah mengatakannya. Namun aku terpikir hal yang lebih hina dari pengemis, mereka adalah orang-orang yang mencuri. Orang-orang yang mengambil hak dan milik orang lain, bahkan dari mereka yang lebih membutuhkan. Kurasa Tuhan akan menganggap orang seperti itu lebih hina dari pengemis.

Memikirkan hal itu, aku menjadi harus berhenti untuk merasa kalau diriku baik, karena sudah memberikan sesuatu pada pengemis. Sebab aku sendiri tak jauh dari kasus mencuri selama ini.  Terkadang jumlahnya lebih banyak dari yang diminta pengemis di jalanan. Ah, itu sungguh tercela.

Di warung soto itu, kembali kunyalakan batang rokokku yang ke dua, dan aku membuat waktu ngobrol menjadi lebih lama lagi. Ngobrol lebih banyak lagi tentang banyak hal yang tak penting.

Komentar