Harus Bagaimana?

Aku mulai masuk kembali pada sistem yang tidak kumengerti. Keadaan yang bisa kupahami, tapi sulit untuk kujangkau, apalagi untuk dikendalikan. Keadaan yang berhubungan dengan banyak orang, dan harus berhubungan dengan orang yang berbeda-beda. Harus menjalin komunikasi, yang kadang cenderung salah paham, juga memicu konflik untuk mencapai target tertentu.

Sulit untuk bisa melangkah ke sana. Sebab aku masihlah orang asing di sini, bukan warga asli yang termasuk ke dalam sistem yang terkendali, yang hanya mengakui satu otoritas. Bukan sistem terorganisir yang memiliki turunan kebijakan yang terstruktur.

Tak kuanggap hal itu sebagai kekurangan. Namun selalu ada konsekuensi dari sistem yang dipilih, konsekuensi pada orang-orangnya, dan juga konflik antar mereka. Di satu sisi aku memandang bahwa inilah seni-nya, namun di sisi lain sulit untuk mengubah apa yang sudah mengakar dengan satu pikulan tongkat Musa. Perlu ada negosiasi dan kesepakatan yang baik di bawah. Satu pukulan tongkat Musa hanya akan nampak gebrakan saja, namun tidak menyelesaikan persoalan yang sebenarnya terjadi.

Awalnya aku berusaha untuk mengubah keadaan, namun ternyata tak semudah yang kufikirkan. Mulai coba kupahami keadaannya. Ternyata memang tidak seharusnya keadaan ini dirubah. Apa yang kupandang benar, mungkin juga belum tentu benar. Ada banyak pihak yang juga melihatnya dengan kenyamanan dan ketetapan. Pada akhirnya aku berupaya mengikuti alur, membawa diri untuk terbawa arus. Terkadang juga harus hanyut dan terombang-ambing. Begitulah konsekuensi yang kusadari.

Kini aku selalu berusaha untuk memperbaiki aliran, bukan berusaha untuk mengalihkan arus air. Bukankah pemimpin itu tidak harus berada di depan dan menjadi penunjuk jalan. Sebab pemimpin itu punya tiga tempat, yakni ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani(Di depan memberu contoh, di tengah memberi merangkai pergerakan, dan di belakang mendukung).

Harus kulihat posisiku saat ini, dan mengerjakan apa yang harus kujalani.

Komentar