Selamat Menonton Film Home Alone Bagi Yang Merayakannya

Tidak merayakan natal, tapi film Home Alone 1990, selalu layak untuk ditonton kembali. Ini adalah film khas Natal. Namun sesungguhnya ini tentang keluarga.

Setiap orang punya cerita dengan keluarganya, dan film ini berusaha membangkitkan imajinasi itu. Menonton untuk yang kesekian kali, dan dengan penuh kesadaran untuk kali ini, rasanya lebih baik untuk direfleksikan. Sebab kita dulu menonton karena libur sekolah, dan TV selalu menyediakannya.

Film dimulai dengan satu keluarga besar di Chikago yang gaduh, Tukang Pizza yang ugal-ugalan, dan pencuri yang menyamar menjadi polisi. Lalu ada seorang anak berumur delapan tahun, yang merasa di intimidasi oleh keluarganya. Dia mencoba melawan, dan pada akhirnya malah dianggap biang kesalahan. Kemarahan membuatnya membenci keluarga, dan berharap semua orang menghilang dari rumah. Hingga pada akhirnya sebuah tragedi membuat hal itu terjadi, dan itu menumbuhkan rasa kesepian dalam dirinya.

Sisi komedi, atau hal yang membuat anak-anak senang menonton ini adalah tentang dua pencuri bodoh, yang berulang kali dijebak oleh si anak. Serasa seru dan lucu ditonton, meski butuh ribuan dolar untuk trik itu. Hal-hal yang sepertinya lebih dimiliki orang kaya. Kecerdasan anak dalam mengisi kegiatannya, dan memanfaatkan apa yang ada di rumah juga amat tidak wajar. Tapi sekali lagi, itu adalah hal yang seru dan lucu untuk dinikmati.

Sedang sisi dewasanya adalah, tentang perasaan seorang terakhir pada keluarganya. Sebagai entitas paling kecil dalam keluarga, dia lebih banyak didefinisikan. Wajar saja, sebab memang belum massanya dia mendefinisikan dirinya sendiri. Fisiknya yang kecil dan keterbatasan-sikapnya dalam menangani sesuatu, membuat dia dipersalahkan oleh banyak pihak yang lebih tua. Dari situlah benih kebencian dirinya pada keluarga.

Namun jauh dari keluarga, sendirian, dan kesepian bukanlah sesuatu yang ringan. Hidup terasa menyedihkan ketika tak ada orang yang kita sayangi, dan juga orang yang menyayangi kita. walau saat-saat bersama keluarga memberikan luka, tapi seorang anak selalu merindukan keluarganya. Seorang anak kesepian tanpa keluarganya.

Keluarga memberikan perasaan yang rumit. Seberapa besar pun kebencian kita pada mereka, pada akhirnya mereka juga kita rindukan.

Begitu pula dengan perasaan seorang ibu. Seberapa pun marahnya pada si anak, ia tetaplah bagian dari dirinya. Terasa bila tak ada, dan akan khawatir ketika dalam bahaya. Ibu yang hebat tahu kesalahannya pada anaknya. Merelakan apa saja untuk bersama anaknya, sebelum semuanya terlambat. Mungkin dia sadar akan tiadanya kesempatan kedua, ditambah dengan keyakinan, bahwa selalu ada keajaiban dari cinta dan hari yang suci.

Momen yang cukup “hening” adalah ketika si anak berada di dalam gereja bersama pak tua, tetangganya. Dua orang kesepian yang merenung. Dari percakapannya, tampak tak masuk akal dengan apa yang dikatakan si anak. Seperti belum masanya seorang anak usia delapan tahun bisa berkata seperti itu. Rasanya tidak berbeda dengan sinetron Indo yang lebay tentang anak. Namun pokok dari percakapan itu adalah, tentang orang tua yang enggan menghubungi anaknya. Takut jika dia diabaikan, walau pun dia masih selalu merindukannya, terlebih dengan cucunya yang saat itu sedang bernyanyi.

Si anak bercerita tentang kondisi gelap dan ketakutan di rumahnya, yang ketika dia bisa menyalakan lampu, segalanya menjadi lebih baik. Mungkin itu bisa mencerminkan perasaan kita sebagai manusia, dalam gelap dan sepi kita akan bingung dan ketakutan. Namun jika kita membuka diri, untuk apa yang kita anggap pencerahan, mungkin keluarga kita atau orang lain, segalanya akan terasa lebih jelas dan ringan.

Mungkin film ini memiliki tampilan kelas ekonomi yang tinggi. Namun secara komedi dan penghayatan, film ini layak untuk semua umur. Juga layak untuk ditonton dari kecil hingga beranjak tua. Tidak heran juga film Home Alone menjadi tayangan TV tiap Natal, dan juga menjadi topik yang hangat pada hari tersebut.

 

Komentar