Riwayat akhir




Desiran angin malam itu terasa sejuk menurutku , dan aku tahu mengapa aku begitu menikmatinya, saat dimana aku harus berpamitan lagi dengannya untuk kembali mencari ilmu atau mungkin lebih tempatnya mencari jati diriku. Kita duduk bersanding berdua di alun-alun kota, disana puluhan orang datang untuk sekedar jalaj-jalan dan menikmati suasana malam minggu, seperti halnya aku yang telah lama tak bertemu dengannya, yang setiap hari hanya bisa menyambungkan kerinduanku lewat sosial media.
“mas, aku boleh bertanya sesuatu ngak?” kata-kata itu, gaya bicara yang selalu seirus dan tak jarang terkesan kaku, padahal kita sudah hampir dua tahun menjalin hubungan dan sangat sering sekali melakukan obrolan, meskipun sekedar sms-an.
“mau tanya masak pakek izin, kayak wartawan aja pean” jawabku dengan nada gembira.
“yo aku takut barangkali sampean belum siap untuk mendengarnya” mendengan kata-kata itu aku mulai tidak tenang, aku seperti dapat meramalkan apa yang akan dia katakan, namun aku mencoba untuk tetap tenang.
“la emange tanya soal apa to, kan yo tinggal tanya aja, masak aku butuh persiapan untuk menjawab, pean kan juga sudah kenal aku banyak, ya kita saling terbuka saja lah” jawabku.
“kita sudah lama menjalin hubungan, dan kita sama-sama tak pernah tahu apakah kita jodoh atau tidak, walaupun aku sudah tau dari Dian kalau dari awal dulu memang pean tertarik sama aku, namu akhir-akhir ini aku bingung mas dengan diriku sendiri, kayaknya aku ngak bisa membawa diriku lebih jauh lagi sama pean, dan aku juga ngak bisa mengungkapkan apa alasannya, karna mungkin terlalu rumit untuk dijelaskan dan ketika kupaksakan  malah akan menimbulkan banyak pertanyaan yang makin sulit untuk dijawab” dia terdiam sejenak, “sebenernya aku orang yang gak begitu paham tentang cinta mas, yang kutahu saat itu peanlah yang memang memikat hatiku lebih dulu dan perasaan itu sebenarnya ada sampai sekarang, aku selalu percaya sama pean karna kuanggap pean lebih dewasa, pean dua tahun lebih tua dari aku, namu yang sesungguhnya ialah, aku nggak tau alasannya kenapa samapi saat ini kita masih bisa berhubungan, dan sepertinya ini sudah bukan jalan bahagia lagi untukku”  aku hanya diam, walau sebenarnya dari tadi sudah terbersit reaksi yang akan kuberiakan.
“mas rifki” dia memanggilku agak keras, sambil menyentuh lututku.
“iya, aku denger kog dari tadi. Ya diselesaikan aja pean pengen ngomongnya,” aku mencoba  mendengarkan dia sekali lagi sambil ingin kupandangi wajahnya yang mungkin tak lagi dapat kurindukan.
“ya mungkin cukup seperti itu, sepertinya kita tak usah lagi menjalin hubunga istimewa, aku pengen kita sekarang fokus aja sama kesibukan masing-masing, siapa tau kita bisa saling bahagia walau hubungan kita tak seperti yang dulu dan mungkin takan pernah kembali seperti dulu, bukankah pean pernah bilanga kalau semakin kita terlena pada masa lalu maka akan sanga sulit untuk kita melangkah maju, iya kan?” aku tersentak dalam hati, seakan tak percaya kalau dia masih mengingat kata-kataku setahun yang lalu, saat dia bercerita tentang guru bahasa indonesia favoritnya yang waktu itu telah digantikan dengan guru yang lain, yang menurutnya sudah tidak menarik lagi.
Entah kenapa waktu itu reflekku seakan biasa saja, sepertinya memang aku sudah siap untuk menerima hal itu. Walaupun rasanya dia terlalu istimewa untuk aku lepaskan begitu saja, gadis yang saat pertamakali kulihat terkesan biasa saja, namun seiring berjalannya waktu saat aku mengenalnya dalam organisasi sekolah, pada saat itulah dihatiku mulai terasa kalau dia gadis istimewa, ternyata dia gadis dewasa dan selalu bersemangat dalam melakukan tugasnya, dia yang kemudian mengisi kepalaku sepnajang hari, sampai kemudian aku dan dia menjalani hubungan istimewa. Tidak lama setelah itu aku mulai mengenalnya lebih jauh tentang masalalunya sehingga aku merasa aku dapat memahaminya. Dia yang sangat suka jika diajak makan bakso dan dia yang sangat benci ketika melihatku merokok. Dia yang kadang terasa menjenuhkan namun juga sering aku rindukan. Saat itu sebenarnya sudah ada seribu pertanyaan yang ingin ku ajukan padanya, namun aku merasa takut untuk memberatkan hatinya dan membuatnya bingung karna menjawab pertanyaanku, lelaki yang tak bisa membuat hidupnya lebih berarti.
“aku tau pean orang yang selalu konsisten dengan apa yang pean katakan, aku bisa menduga kalau pean serius memikirkan ini sebelumnya,” kulihat dia sangat memperhatikn kata-kataku.
Aku mulai bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi, kurasa semuanya sudah jelas dan aku tak mau bicara terlalu banyak padanya, kurasa dia mungkin sudah bosan dengan aku yang selalu cerewet dan sok dewasa. Suasana malam sudah tak seindah lagi dengan yang ku bayangkan sebelum berangat kesana, rasanya aku sudah ingin cepat pulang dan merenung sendiri di kesuniyan. Sempat aku ingin membuat sebuah kenangan terakhir dengannya, namun niat itu kuurungkan mengingat dia telah semakin dewasa menurutku. aku mengantarnya pulang dan kemudian pergi ke warung kopi milik temanku, untuk sekedar menyendiri di tengah keramaian yang ada.

Komentar