cinta hatiku
Tiga hari ini
kulihat dirimu banyak merenung, dan aku juga tak kuasa menanyakan alasannya.
Entah kenapa kau terlihat tak berdaya, akankah aku tidak cukup memberi
perhatian padamu selama ini. Padahal kita sudah tiga tahun menikah, dan putri
kita yang hebat itu telah menjadi bukti dari ketulusan cinta. Namun selama tiga
masa itu kau sama sekali tak pernah menyatakan isi perasaanmu padaku, Dan aku
juga tak pernah berani untuk menanyakan itu padamu. Mungkinkah hubungan yang kita asumsikan untuk
saling mengerti dan saling memahami dapat terwujud, jika hal itu terus kita
asumsikan dalam benak kita masing-masing.
Diammu adalah
pertanyaan yang tak dapat aku jawab. Jangankan menjawab, mengasumsikannya saja
aku tak mampu. Bagaimana mungkin aku dapat menjelaskan hati, yang dia sendiri
seribu kali lebih luas dari pandangan-pandanga yang sampai saat ini aku terima.
Menjelaskan isi hatiku sendiripun sampai saat ini aku masih belum mampu. Karna
hati tidak seperti otak yang kata filosof dia punya dasar logika. Hati tak
kenal sebab-akibat, hati tak kenal premis minor-premis mayor, dan hati juga tidak
tunduk atas hukum kausalitas. Namun saat kya’i-ku memintaku untuk menikah
denganmu tiga tahun lalu. Aku langsung berusaha untuk meyakini bahwa kau adalah
orang di takdirkan untuk berdampingan denganku. Karna saat itu aku berada dalam
kepasrahan total, dan percaya bahwa jodoh adalah ketentuan ialhi.
Malam ini
suasana begitu dingin, dan setelah kita menonton tv bersama, kau memutuskan
untuk istirahat. Raut wajahmu yang kurang begitu mengugah selera membuatku tak
berani untuk meminta apapun. Aku hanya mampu membentangkan selimut ini tanpa
berkata apa-apa. Mungkin dirimu memang benar-benar lelah, bukan hanya tubuhmu,
namun juga jiwa yang selama ini terlihat melayang-layang, mencoba keluar dari
kenyataan rumah tangga kita. Dan aku hanya dapat berbaring disampingmu untuk
saat ini. Sambil merenungi kenyataan ini dan berusaha untuk siap menerima
segala kemungkinan yang ada. Karna aku memang terlambat menyadari bahwa
perkawinan kita bukan karna rasa saling cinta sebelumnya. Melainkan sebuah
tragedi budaya yang aku sendiri masih bisa untuk mengkritiknya hingga saat ini.
Yah, saat ini.saat aku tengah merasa sendiri di sampingmu yang sudah terlelap
diatas ranjang kita berdua. Hingga waktu menunjukkan pukul tiga, yang membuatku
memutuskan untuk mengisi hatiku bersama sang ilahi, tanpa aku berani
membangunkanmu. Tidak seperti saat kita masih mengharapkan bidadari yang indah
itu menghiasi rumah ini. Dia si nabilatunnada. Bidadari yang saat ini mulai
banyak bertanya tentang apa ini? dan apa itu?.
Aku berjalan
kebelakang untuk membasuh muka, dengan perlahan-lahan membuka pintu kamar,
karna takut mengganggu tidurmu. Namun tiba-tiba setelah aku keluar dari kamar
mandi aku muncul didepan mataku dengan mata masih terlihat kantuk. Aku tersentak
seolah tak percaya pada keadaan. Ada rasa bingung yang bercampur dengan rasa
bersalah tanpa dapat ku ungkapkan. Namun aku memberanikan diri untuk bertanya.
“mau ngapain
dek?”
Dengan wajah
sedikit kecewa dia balik bertanya. “kok mas ngak membangunkan aku kalau mau
sholat tahajud?”
“karna aku
takut mengganggu tidurmu, sepertinya kamu lelah karna seharian mengerjakan
tugas rumah dan juga mengurusi nabila. Mending kamu istirahat saja, besok kalau
tidak begitu capek aku akan membangunkan kamu untuk sholat tahajud bersama.”
“tidak, aku
ingin kita sholat tahajud bersama. Karna kemarin aku tidak sempat sholat
tahajud gara-gara kamu tinggal tugas jaga malam”
“kamu yakin?,
bukankah besok kamu harus bangun pagi untuk mempersiapkan bekal buat nabila.
Katanya dia mau ada picnik di sekolah”
“sudahlah mas,
ngak usah kebanyakan perhitungan. Mending kita sholat bareng terus tidur lagi”
sambil dia masuk ke kamar mandi untuk berwudu.
Hingga
kemudian kita melakukan sholat tahajud bersama, dan setelah itu aku mulai
bingung untuk berbicara lagi padanya. Rasanya seperti ingin membiarkannya
melanjutkan tidur tanpa aku perlu berkata apa-apa. Namun karna ini sudah
terlalu pagi dan terlalu sempit waktunya untuk melanjutkan tidur, maka aku
memneranikan diri untuk mengajak dia berbicara dengannya dengan posisi yang
yang masih di atas sajadah di ruang kamar tengah.
“dek, boleh
aku tanya sesuatu?, sepertinya ada sesuatu yang perlu kita utarakan berdua.
Karna sepertinya kita sudah lama tidak ngobrol berdua dan berbicara dari
hati-kehati”
Dia sebentar
terdiam, lalu kemudian menjawab dengan lembut. “akut ikut saja mas, kalau itu
mau kamu”
“ini mengenai
perasaan dek, kamu tahu kalau kita menikah karna dijodohkan dan kita tak pernah
bertemu sebelumnya sejak peristiwa perjodohan itu. Aku tidak bermaksut untuk menuntut
kamu, tapi aku ingin mencoba menanyakan kembali apakah sampai saat ini kamu
dapat menerima keadaan ini?, atau kamu masih belu bisa untuk menerimanya. Karna
bagiku cinta yang baik adalah ketiak dia memang diusahakan bersama untuk
kebaikan bersama, bukan hanya diasumsikan saja. Aku tahu ini terlambat, tapi
menurutku kita perlu untuk membicarakan ini supaya ini tidak menjadi beban bagi
kehidupan kita berdua, terlebih untuk nabila. Aku adalah orang yang tak begitu
peduli dengan cinta dan perasaan seperti yang biasa di hadirkan di tv. Dari
kecil aku di didik oleh bapak untuk selalu teguh pada pilihan yang aku putuskan
dan menerima kenyataan dengan lapang dada. Begitu juga ketika kita dijodohkan,
aku langsung berusaha meyakini bahwa kamu memang jodohku. Aku tak ingin
bertanya apapun, namun jika kamu tidak keberatan, aku ingin mendengar ungkapan
dari hatimu untuk saat ini.”
Aku tak
menyangka bisa berbicara sepanjang itu, namun yang kurasakan saat itu begitu
lega saat setelah aku dapat mengungkapkannya. Dan kemudian mencoba untuk siap
dengan semua jawabannya.
Dia terlihat
diam dan akupun tak mampu untuk menerka apa yang angin atau akan dia ungkapkan.
Saat hening itu rasanya dunia terus berjalan, namun saat itulah waktu menjadi
hampa, dia tak berupa detik maupun masa. Saat itu waktu seolah merupa bentangan
suasana yang terlewati oleh kemelut rasa penasaran yang luarbiasa. Namun rasa itu
terhenti ketika kulihat wajahnya hendak menjawab. Dia menatapku, dengan tatapan
yang tak pernah kualami sebelumnya.
“mas, aku juga
manusia yang tak tahu banyak soal cinta. Akupun merasa tak pernah merasa
menikmati cinta itu dengan sadar. Aku hanyalah gadis desa yang sama sepertimu,
namun saat pindah ke kota saat kulyah dulu, aku hanya berjalan mengikuti
kehidupan disini. Mulai dari gaya hidup, penampilan dan juga cara berfikir. Dan
aku menikmatinya, entah karena aku terhanyut oleh keadan atau memang inilah
ujung dari perjalanan jiwaku. Dan keluarga kita juga mempunyai tradisi yang
sama, ayah dan ibuku juga dulu dijodohkan. Dan sekarang keluarga kita juga
bahagia. Dan hal itu yang membuatku mencoba untuk belajar menerima kamu saat
kita dijodohkan.” Dia kemudian terdiam.
“lalu
bagaimana denga perasaanmu saat ini?, bukan maksudku untuk meragukanmu. Namun
pernikahan kita sudah berjalan tiga tahun. Dan ini adalah hal yang belum pernah
aku tanyakan. Karna awalnya aku merasa
aneh ketka ingin menanyakan hal ini. Namunsetelah kufikir kembali, memang
kebahagiaan itu perlu untuk di upayakan dan tidak hanya diasumsikan.”
“mas, bagiku
cinta bukan soal ungkapan. Seumur hidupku aku juga belum pernah bilang kalau
aku mencintai ayah dan ibuku, beitu juga sebaliknya. Tapi mereka benar-benar
merawatku dan mendidikku hingga aku merasa jadi orang yang dewasa. Apakah
ketidak terungkapan cinta itu membuat kamu ragu mas?”
“ya maaf kalau
pertanyaan tadi menyakiti hatimu, namun yang kutahu akhir-akhir ini ada
kegersangan di antara kita berdua, Yang itu membuat hatiku bertanya-tanya.
Bolehkah aku tau tentang keadaan perasaanmu saat ini?”
Dia mendekat
dan memegang tangankiu, “aku minta maaf mas, sebenarnya aku juga punya
pertanyaan yang sama dalam hatiku. Hingga akhir-akhir ini aku sering
membandingkan keluarga kita dengan keluarga lain, Dan itu sungguh mengurangi
rasa bahagiaku saat ini. Saat kamu disampingku tadi malam aku juga belum tidur.
Aku memikirkan mengenai hal ini juga, namun aku sekarang mengerti, bahwa
keharmonisan keluarga memang perlu untuk di usahakan dan tidak hanya di
prasangkakan seperti katamau. Tetapi aku masih belum bisa mengungkapkan cinta
padamu, dan entah sampai kapan rasa cinta ini tak bisa aku ungkapkan. Mungkin
hal ini cukup kita hayati masing-masing dalam hati. Karna aku takut cinta akan
menjadi hambar jika kita mengungkapkannya. Biarkan saja waktu yang akan
menjawab ketulusan cinta kita, dan kuharap kita sama-sama yakin akan cinta ini”
Aku tak pernah
merasa sebahagia ini sebelumnya, kebahagiaan yang hanya ada dalam jiwa. Dan
tubuhku masih saja diam dan membisu. Sambil menikmati dekapan tanganmu yang
yang sedari tadi tak pernah kuharap bisa lepas. Ini adalah malam paling intim
yang kurasakan selama tiga tahun pernikahan.
Aku mengayuh
badannya lalu kemudian kepalanya tergeletak di pangkuanku. Saat itu aku merasa
waktu telah binasa, suasana itu telah menjadi segalanya. Hinga azdan subuh
tiba, dan aku merasakan air matamu menetes di pangkuanku. Namun saat itu aku
masih menikmati suasananya dan aku tak kuasa untuk mengganggu suasana hatimu.
Aku sempat berkata dalam hati “aku
mencintaimu dek, dan aku takan pernah mengungkapkannya padamu. Akan kuteguhkan
rasa ini dalam hati dan aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu”.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya