H




Setiap perkataan yang menjatuhkan, tak lagi kudengar dengan sungguh.
Juga utur kata yang mencela, tak lagi kucerna dalam jiwa.
Aku bukanlah seorang yang mengerti tentang kelihaian membaca hati,
Kuhanya pemimpi kecil yang berangan, tuk merupah nasipnya.
Lagu itu mengawali winam yang tersimpan dalam notebook milikku sore ini. Senja yang begitu berharga untuk dilewatkan dengan secangkir kopi dan rokok Gudang Garam Internasional yang akhir-akhir ini akrab dengan diriku. Saat dimana hari-hariku tak begitu berharga dan aku sendiri tak pernah yakin dengan masa depan yang telah menungguku disana. Impian yang sederhana namun tak pernah hilang dari ingatanku sampai saat ini.
Sore ini mengantarkan ingatanku pada sosok tua di ujung timur pulau jawa. Seorang yang akan tetap tersimpan dalam bagasi sejarah yang terletak di ubun-ubun kepala. Meski saat ini aku tak pernah merindukannya namun aku tahu di hatinya masih ada harapan besar padaku, dan kau juga masih tetap mengingatnya dalam tepi keheningan. Dia orang yang mengantarkan jiwaku sampai aku menjadi begini. Aku sempt berfikir aku bisa menjadi siapa saja, amun aku tak akan pernah bisa menjadi dirinya, dirinya yang membuatku menjadi seperti ini.
Mengingatnya membatku mengenang kembali tentang masa lalu. Aku teringat saat dia selalu menanyakan hal yang sama di setiap pulang sekolah. “tadi disekolah diajarin apa sama gurunya?” pertanyaan yang tak pernah bosan dia ungkapkan pada waktu itu. Dan entah kenapa saat ini aku begitu merindukannya. Walaupun pada waktu itu aku merasa bosan karna setiap hari harus menjawabnya. Mungkin memang benar kata dewi lestari, bahwa jarak adalah sebuah penghubung untuk membaca sebuah kata, dan jaraklah yang dapat membuat hubungan antar kata itu dapat termaknai. Begutulah kira-kira keadaanku saat ini, namun setelah kufikir-fikir kembali, aku mulai merenungi mengenai apa yang membuatku memikirkan masalalu itu?.
Ternyata jawabannya sederhana, Cuma kegelisahan. Kegelisahanlah yang membuatku mengenangkembali masalalu, yang sebenarnya itu dulu kuanggap biasa saja. Namun karna suasana hatiku telah berada jauh dari itu, aku jadi menganggapnya istimewa. Namu kenangan itu berubah menjadi kesedihan, saat kurenungkan kembali bahwa aku telah kehilangan semua itu. Kini aku melangkah sendiri dan menentukan apa yang seharusnya kulalui. Semua yang terjadi telah menjadi kenangan, namun dari peristiwa mengingat masa itu aku menjadi mendapatka banyak pelajaran.
Oh
Bukankah hidup adalah perhentian
Tak harus kencang terus berlari
Kurelakan nafas panjang
Tuk siap berlari kembali, melangkahkan kaki, menuju cahaya
Bait terahir lagu ini menakhiri renunganku di sore ini. Dan aku tak tahu lagi, kapan aku akan bisa mengingat kembali masalaluku yang dengan begitu dalam. Aku hanya mampu berharap bapakku mendapatkan yang terbaik dari Allah subhanahuwataala. ( 7/03/2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"