Lapar

Akhir-akhir ini kondisi keuangan saya cukup mengenaskan, Keadaan saya juga sudah tidak kerja. Ketika rasa lapar datang, yang terfikirkan adalah mencari suaka makanan atau dalam istilahnya nebeng. Kadang harus utang ke teman, saat satu teman tak bisa maka kita coba ke teman yang lain, seperti itu seterusnya. Hingga akhirnya saya memiliki waktu untuk sedikit merenunginya. Saya sudah berkali-kali mengalami kondisi krisis seperti ini, tapi toh nyatanya sampai sekarang saya masih hidup. Semuanya berkat usaha untuk mencari jalan keluar dari persoalan paling mendasar bagi manusia ini.

Makan adalah persoalan mendasar bagi manusia selain juga sandang dan juga papan. Seorang kawan dari daerah Pati pernah bilang, profesor itu, kalu dia tidak makan maka dia tidak bisa mikir. La gimana mau mikir, lawong dia masih lapar. jika persoalan ini saya teruskan maka akan berujung pada tesis karl marx mengenai basic structure yang mengatakan bahwa struktur dasar dari manusi adalah Ekonomi. Jika diteruskan lagi maka akan berjuang pada kritik faham Kapitalisme mengenai akumulasi, ekspansi dan eksploitasi. Namun tak perlu dilebarkan kesana juga karna hanya akan mengulas teory dan sejarah. Ketika kita makan lalu kemudian berinisiatif untuk mencari makanan, secara pola dialektika itu sama halnya dengan ketika kita merasa bodoh dan kemudian berusaha untuk tekun agar cerdas. Bedanya adalah, pada kasus pertama hal yang terjadi adalah persoalan naluriah. Artinya dia adalah sesuatu yang di dorong oleh jiwa dan itu terjadi secara reflektif. Sedangkan dalam persoalan kedua, itu adalah sesuatu yang masih butuh di ketahui mengenai ketidaktahuannya. Saat benar-benar lapar kebutuhan akan makanan menjadi suatu hal yang tidak dapat di tunda, sedangkan saat kita benar-benar bodoh tidak ada jaminan bahwa fikiran atau jiwa kita terangsang untuk tidak menunda-nunda mencari ilmu. Makan adalah kebutuhan hidup yang tak satu setan pun menyangkalnya, sedangkan ilmu adalah kebutuhan untuk hidup.

Saya teringat dengan Bio salah satu tokoh di tweeter yang mengatakan bahwa dia adalah orang bodoh yang tak kunjung pintar. Yang menjadi pertanyaan di benak saya adalah seberapa lapar dia akan ilmu sehingga merasa tak kunjung pintar?. Waktu terus berjalan dan ilmu terus berkembang, apakah dia sanggup untuk mengikuti itu semua? Atau sebenernya dialah aktor dari perkembangan llmu itu sendiri?. Ah, barang kali jawaban beliau ketika ditanya seperti itu akan tak se-dramatis yang saya bayangkan.

Komentar