menelanjangi diri



Sehabis berkumpul dengan kawan-kawan untuk membicarakan persoalan menjelang mayday diriku terbawa untuk melakukan hal-hal yang sama sekali gal penting, pada akhirnya menjelang padi aku baru berfikir bahwa seharusnya aku habiskan waktku untuk menulis. Entah menulis mengenai apa dan untuk apa?. Tapi harapanku setelah menulis adalah untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Agak lama aku merenung sebelum menulis, jiwaku terbawa untuk menelanjangi diri. Aku harus sadar bahwa sebagaimanapun aku merasa diriku benar orang lain belum tentu salah dan sehina-hinanya diriku aku masih punya kesempatan untuk lebih baik. Kini aku harus mau menyadari dan merubah bahwa aku adalah orang yang lebih suka menggantungkan sesuatu dan menunggu. Padahal menunggu adalah hal yang paling membosankan bagi banyak orang. Pada akhirnya aku harus menyadari kalau waktu sebenarnya tak pernah menungguku, waktu terus berjalan dan tidak peduli dengan kesiapanku untuk berubah. Akulah yan harus memutuskan untuk berubah.
Perjalanan hidupku yang sampai pada keadaan yang nista pada saat ini adalah hasil dari dialektika yang selama ini aku jalani. Ada banyak hal yang aku salah dalam menyikapinya sehingga hal itu membuatku malah terjerumus dalam kungkungan ketidak jelasan dan kehancuran sebagai pribadi. Aku adalah pribadi yang tidak memiliki karakter dan itu membuatku sulit untuk diandalkan orang dalam hal apapun. Aku lebih banyak gagal dalam mengemban tugas dan tanggungjawab. Aku tidak dapat memisahkan antara urusan pribadi dan urusan kelompok dan itu membuatku mengeceakan banyak orang. Masih banyak lagi persoalanku yang patut untuk di evaluasi. Namun apalalah daya evaluasi. Benar kata seorang kawan bahwa, Evaluasi tanpa ada kehendak untuk dirubah hanya akan terus melangsungkan kehancuran dari dalam.
Dari dulu aku masih saja terlalu sombong dengan apa yang aku miliki yang itu sebenarnya tidak seberapa. Kini keadaannnya menurutku sudah berbalik dengan drastis, aku seperti terpuruk dan tak memiliki apapun untuk di banggakan selain kebodohanku sendiri. Aku sangat tak pantas untuk menjadi pemimpin, aku hanya lebih pantas untuk menjadi pengikut yang itupun mungkin bakal tak dapat diandalkan. Semua persepsi yang jelek sepertinya kini bersarang dalam tubuh dan jiwaku.
Kini seharusnya aku tak menanam hal itu lagi dalam jiwaku. Aku baru tahu kalau jiwa dan akal itu seperti tanah, dia adalah media, apapun yang di tanam disana akan tumbuh dengan sendirinya. Saat yang di tanam adalah sesuatu hal yang baik maka dia akan utmbuh sebagai kebaikan dan saat yang di tanam adalah hal yang tidak baik maka dia juga akan tetap tumbuh sebagaimana tanaman apapun yang di tanam di dalam tanah. Kini aku sendiripun masih bingung mengenai apa yang seharusnya aku tanam. Yang pasti pada intinya aku harus berubah dengan pelan-pelan dan dari hal yang paling sederhana.
Pertama aku harus berusaha merendahkan hatiku di hadapan siapapun karna pada faktanya aku memang tak lebih baik dari mereka. Hari ini jika dikalkulasi maka sebenarnya aku adalah manusia dengan dosa yang begitu besar. Dosa yang aku merasa belum melakukannya adalah membunuh orang. Selain dari dosa itu aku sepertinya sudah melakukannya. Bukan sepertinya, tapi aku memang sudah melakukan dosa itu.
Kedua, aku harus berusaha untuk jujur dan juga menjaga kepercayaan dalam organisasi. Karna itu yang saat ini masih aku yakini akan dapat memperbaiki hidupku baik secara moril maupun materil. Meski aku masih belum bisa untuk mejalankan perintah agama dalam hal ibadah mahdoh, namun ketentuan untuk hidup dan ber-sosial harus tetap dijalankan.

*tulisan ini sangat berantakan. Entah berbentuk apa?. Tapi dengan menulis meskipun buruk aku sedikit merasa lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"