catatan pribadi

entah bagaimana caranya mengawali ungkapan jiwa yang begitu amburadul. Pertanyaan utama untuk bisa melakukannya adalah. “apakah aku benar-benar jujur dalam mengungkapkan dan menuliskannya?”

Kurasa tidak banyak orang yang benar-benar bisa jujur dalam menuliskan apa yang dia rasa. Karna aku sudah terbiasa merasakan, bahwa ada jarak antara apa yang ada dalam perasaanku dengan ungkapanku. Dalam ungkapan, tidak hanya mulut yang berperan, namun juga ego serta rasa takut akan pendapat orang lain. Begitu juga ketika memindahkan perasaan dalam jiwa itu kedalam tulisan. Ada semacam keinginan untuk ikut mengatur persepsi pembacanya. Tapi mingkin itu hanya terjadi pada diriku saja, sedangkan banyak orang disana memiliki situasi yang berbeda antara dirinya dan tulisannya. Mereka bisa jadi mampu lebih jujur dan konsisten dengan apa yang dia tuliskan.
Kufikir jujur merupakan aspek utama yang sangat penting dalam kehidupan, tidak hanya dalam soal mengungkapkan perasaan dalam tulisan. Memang ada tulisan berbentuk fiksi, namun harus ada sisi kejujuran dalam isinya. Yakni ada keterbukaan dalam menerima banyak persepsi dan juga tidak acuh terhadap kenyataan. Entah bagaimana aku harus mendefinisikan mengenai kejujuran, namuan kini kuyakini kalau jujur adalah kebenaran sejati. Kejujuran tak membutuhkan alibi, atau banyak kata-kata sebagai apologi. Untuk jujur mungkin aku hanya membutuhkan pengakuan yang jelas dan tepat, serta mengerti batasan-batasan dimana ego tak boleh ikut berperan.

Bisakah aku melakukannya?

Hari ini banyak orang berusaha untuk ‘meluruskan’ sejarah. Ungkapan itu terdengar tepat dan signifikan, namuan pada kenyataannya meluruskan sejarah hanyalah soal persepsi individu atau mungkin sebagian kelompok. Karna kebanyakan orang hanya melihat dari satu persepsi/sudut pandang. Sudut pandang lain mungkin dia menafikkan atau malah tidak tahu samasekali. Saat sejarah berbicara soal apa, kapan dan dimana, semua orang mungkin memiliki pendapat yang sama atau setidaknya bisa mencapai kesepakatan. Tapi ketika sudah mulai membahas mengenai mengapa dan bagaimana, banyak orang akan menganut persepsi dan teorinya masing-masing. Tidak jarang pula pendapat masing-masing orang akan berbenturan dan malah membuat konflik baru. Kini aku tengah berusaha menyampingkam itu semua dan membawa diri pada semangat baru untuk besok.
Sudah pasti besok aka ada tragedi baru. Sudah pasti pula aka nada masa dimana aku harus kembali merefleksikan diri pada kejadian hidupku yang telah berlalu. Disana mungkin kapasitasku akan diuji, akankah aku sanggup membawa diriku terus melangkah maju?, atau aku akan terus berhenti dan bahkan mundur kembali?.
Mungkin sebaiknya dalam perhentian ini aku benar-benar berfikir untuk akan terus hidup. Aku harus menyiapkan diriku pada apa yang akan datang padaku. Dia(masa laluku) pasti akan datang, entah itu sebagai ingatan, sebagai hujatan dan juga karma. Aku juga belum bisa memikirkan hal apa yang bisa aku lakukan dengan itu, selain mengambil apa yang belum sempat aku pelajari darinya. Dari kejadian-kejadian yang pernah kualami. Kini berusaha untuk menjadi orang yang bisa menerima adalah kekuatan terbesarku. Namun kekuatan dari rasa menerima itu akan luntur jika aku tak mau untuk menjadi jujur.
Aku tahu menjadi jujur adalah sangat tidak mudah. Salah satu kongkritnya adalah; aku selalu berfikir dapat benar-benar bisa lepas dengan dia, orang yang pernah berada di masalaluku. Dari itu aku berusaha membawa diriku pada hari esok tanpa dia. Padahal hati kecilku masih saja ingin mendekatinya. Namun kini aku tengah mengakui dua hal; pertama, dia memang bukan orang yang baik untukku, karna yang aku tahu ketulusanku tidak terbalas dengan kejujuran. Yang Ke-dua mungkin sebaliknya, aku memang bukan orang yang baik untuknya. Aku tak bisa menjadi orang yang ia harapkan atau mungkin dia benar, aku malah menjadi orang yang membelenggu kehidupannya yang ingin bebas dan tak mau menciptakan batasan. Atau mungkin ada alasan lain yang aku sendiri tidak menyadarinya dan dia atau orang lain lebih tau…
Aku tak akan bilang kalau aku masih menyayanginya atau masih ingin “bersama” dengannya lagi. Itu sama saja dengan membawa diriku hidup di atas harapan dan aku tak mau hidup diatas harapan itu.

Akan aku usahakan untuk menerima?

Aku kadang merasa kalau “aku” tak sekuat apa yang kufikirkan. Aku mungkin bisa berkata “akan maju dan mendobrak semuanya”, namun kenyataan tengah memberitahuku kalau aku lemah. Dari itu aku lebih pantas untuk mengatakan “akan aku usahakan”.
Sering juga aku teringat oleh masa lalu dan menganggapnya lebih indah dari hari ini. Itu sudah sangat menunjukkan kalau aku sudah gagal untuk “menerima” sejak dalam fikiran. Mingkin yang musti kulakukan adalah tenang, menerima semua yang datang dan membiarkannya mengalir. Karna setiap kali aku menolak, entah itu kenangan, entah itu penghianatan(maaf, taka da istilah yang lebih tepat dan halus), ataupun dakwaan orang terhadapku, rasanya malah menjadi sakit dan membebani, atau paling tidak menjadi emosi. Kufikir bahwa “menerimanya” adalah keputusan terbaik yang bisa kulakukan. Biarkan saja semuanya masuk dan mengalir, karena semua itu akan keluar dengan sendirinya.
Menerima adalah hal utama yang akan membuatku bisa bertahan menjalaninya. Dengan menerima mungkin aku bisa mendapatkan kekuatan dan ketenangan baru dalam menjalani hidupku kembali. Menerima, kemudian merasakannya, menikmati hingga mensyukurinya adalah sebuah proses panjang yang membuat jiwa lebih baik. Orang menyebut proses itu dengan istilah TRaNS(terima, rasakan, syukuri, nikmati). Hal itu tak bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan.
Mungkin motede untuk dapat melakukannya adalah dengan cara “hening”. Hening adalah usaha untuk lebih berusaha mendengar. Kemudian aku menambahinya dengan membaca, jadi hening adalah usaha untuk lebih banyak mendengar dan membaca. Barangkali istilah lain dari orang yang suka berurusan dengan keheningan adalah meditasi. Aku bukan orang yang begitu mengerti mengenai meditasi, tapi aku bisa menangkap bahwa meditasi adalah satu cara untuk merasakan dan menyatu dengan alam. Dalam meditasi kita akan berusaha untuk menerima semuanya, diam dan mendengar lebih cermat hembusan angin, detak jantung hingga suara nafas kita sendiri. Aku sempat berfikir bahwa esensi dari hening atau meditasi ada pada shalat.
Dengan berusaha untuk hening kita akan bisa menerima semua yang datang dari luar diri kita dengan lebih tenang. Kita memang tak bisa membuatnya mengendap dalam diri terlalu lama. Semua itu harus dikeluarkan sembari memberi cacatan pribadi atasnya. Dengan catatan pribadi itu kita tahu mana yang musti di pertahankan dan mana yang tidak. Dengannya pula kita bisa belajar dari apa yang telah datang untuk melanjutkan perjalanan yang akan datang. Aku jadi semakin mengerti bahwa catatan pribadi membuat kita mendidik diri dan membawa diri kearah yang lebih baik.

Tapi tak bisa hanya begitu?

Apa yang aku anggap sebagai penerimaanku tidak hanya karna dia berada diluar diriku dan melalui persepsinya masing-masing, tapi hal itu juga merupakan evaluasi atas diriku. Aku tak pernah menganggap diriku steril dari kesalahan dan juga menganggap kesalahanku lebih kecil darinya. Ego dan sikapku adalah juga sebab dari kesalahan besar dan tragedy yang aku jalani. Sebagaimana yang pernah kutulis sebelumnya, aku adalah orang yang lebih suka menghamba pada pandangan orang lain. Berusaha untuk terlihat baik padahal sebenarnya tidak. Hanya mengikuti kesenangan sendiri dan tak pernah konsisten. Semua itu bukanlah kebodohan yang sederhana.
Seberapapun rasional pembelaan aku buat, sepanjang apapun apologi yang kukatakan, aku tak dapat menghindar dari fakta diriku. Aku tak bisa  dan tidak layak menghindar dari apa-apa yang sudah aku perbuat yang aku sendiri pun menganggapnya salah.
Sangat tidak pantas rasanya untuk berkelit dari itu semua. Sama tidak pantasnya ketika aku lebih mementingkan hal yang remeh dan meremehkan hal yang pokok. Aku benar-benar harus bisa memperbaiki itu semua dari diriku sendiri. Dari setiap hal yang tadinya aku anggap remeh padahal penting. Aku juga mesti merelakan semuanya, ini mungkin sepantasnya yang harus aku terima. Aku hanya perlu memperbaikinya sendiri, mulai dari laptop-ku sampai dengan hidupku. Aku harus tetap berjalan dan menyusuri waktu.

Dan begitulah semua catatan ini kutuliskan dan sebaiknya aku memang sendiri dulu. mungkin juga ini tidak dapat mewakili semua ekspresi dan sudut pandang. Namun tidak ada lagi yang pantas aku ucapkan selain maaf dan trimakasih pada semuanya, atas semuanya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"