Salah Saya Saja
Sudah lama sekali saya menyendiri
dan merasa sendiri. Kadang rasanya menyesakkan, kadang pula begitu nyaman.
Kenyamanan yang membuat diri menjadi semakin malas dan bodoh. Kesalahan yang
saya lakukan dengan penuh emosi dan ke-egoisan membuat saya dikucilkan oleh
sebagian pihak. Rasanya begitu sulit menerima hal itu. Sebab bagi saya, saya
juga adalah korban penghianatan. Saya kadang menganggap mereka yang kini memandang
saya sebelah mata adalah orang yang tidak adil dalam fikiran.
Tapi ini memanglah soal diri saya
sendiri. Saya juga tidak berhak untuk menyalahkan persepsi mereka. Mungkin
memang benar, bahwa “lebih baik diasingkan dari pada hidup munafik”(Soe Hoe Gie). Biar saja
semua kesalahan itu di timpakan kepada saya. Biar mereka tidak membela saya.
Toh, kini kekeruhan diri saya sudah sedikit terasa mengendap. Seorang teman
mengatakan bahwa, semua pasti akan menanggung karma masing-masing. Bahkan saat
kita menyakiti hewan pun, dia memiliki karmanya.
Sebenarnya saya setengah tidak
percaya dengan hukum karma. Entah apa alasannya. Mungkin karena ego saya yang
terlalu tinggi. Sehingga menganggap semua hal harus dibalas secara instan dan
di depan mata. Mungkin juga karena saya tidak mengerti di mana letak karma
dalam siklus kehidupan. Saya terlalu banyak menilai sesuatu lewat pandangan
mata.
Tapi pada akhirnya saya merasa
bodoh karena terus mengingat karma itu. Saya malah seperti terus hidup di masa
lalu dan lupa dengan esok dan hari ini. menjadi pribadi yang tidak lekas
menyelesaikan tugas dan bersiap untuk esok hari. Ada hal penting yang kini
tidak saya miliki, yakni semangat. Bahkan sudah tidak bisa mendefinisikan lagi
mengenai apa itu semangat. Bukankah itu sebuah tanda kematian?
Saya pernah mendengar kalau “semangat
adalah bahan bakar kesuksesan”. Kemudian terbayang mengenai motor tanpa bahan
bakar. Pasti tak akan pernah bisa jalan. Bisanya hanya dituntun. Dengan begitu perjalanan menjadi hak sang penuntun. Tentu itu bukan merupakan hal
yang layak bagi lelaki berumur 25 tahun. Lelaki yang sudah seharusnya mampu
membuat pilihannya sendiri dan menjalaninya. Sudah bukan lagi waktunya untuk parassit sambil bersandar pada ide-ide
yang “melangit”.
Pada akhirnya saya menyadari kalau
saya memang terlalu santai, atau bisa dibilang malas. Juga bodoh. Saya terlalu
melihat orang lain yang saya fikir penuh dengan keberuntungan. Kemudian iri
atau berharap mendapat keberuntungan yang sama, Tanpa saya pernah intropeksi
dan bersyukur. Atau menyadari bahwa setiap cerita, kondisi dan tragedi pada
setiap jiwa memang berbeda. Hanya kadang semua itu memiliki hubungan atau makna
yang sama, kadang juga tidak.
Penah saya berfikir bahwa hidup ini
seperti sebuah transaksi. Selalu ada yang harus dibayar dan juga di trima.
Kadang ada diskon dan juga promo. Kadang pula ada bonus. Selalu ada resiko
untuk sesuatu yang ”instan”. Harga yang cukup akan menentukan kualitas dan
kualitas sejati akan teruji oleh waktu. Saya memang banyak santai, berfikir dan
melamun. Kemudian mudah mengatakan banyak hal, namun kurang bisa
mengaplikasikannya.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya