Salah Saya Saja


 Hari ini hujan deras terjadi di wilayah kost. Hal ini membuat saya kembali terpaku dengan apa yang sudah saya lakukan di kamar ini. Ada banyak kesalahan dan juga dosa. Ada pula kenangan yang menurut saya terasa tulus. Entah apakah itu benar-benar sebuah ketulusan atau hanya bagian dari dusta. Namun rasanya masih saja dapat diingat dengan baik.
Sudah lama sekali saya menyendiri dan merasa sendiri. Kadang rasanya menyesakkan, kadang pula begitu nyaman. Kenyamanan yang membuat diri menjadi semakin malas dan bodoh. Kesalahan yang saya lakukan dengan penuh emosi dan ke-egoisan membuat saya dikucilkan oleh sebagian pihak. Rasanya begitu sulit menerima hal itu. Sebab bagi saya, saya juga adalah korban penghianatan. Saya kadang menganggap mereka yang kini memandang saya sebelah mata adalah orang yang tidak adil dalam fikiran.
Tapi ini memanglah soal diri saya sendiri. Saya juga tidak berhak untuk menyalahkan persepsi mereka. Mungkin memang benar, bahwa “lebih baik diasingkan dari pada hidup munafik”(Soe Hoe Gie). Biar saja semua kesalahan itu di timpakan kepada saya. Biar mereka tidak membela saya. Toh, kini kekeruhan diri saya sudah sedikit terasa mengendap. Seorang teman mengatakan bahwa, semua pasti akan menanggung karma masing-masing. Bahkan saat kita menyakiti hewan pun, dia memiliki karmanya.
Sebenarnya saya setengah tidak percaya dengan hukum karma. Entah apa alasannya. Mungkin karena ego saya yang terlalu tinggi. Sehingga menganggap semua hal harus dibalas secara instan dan di depan mata. Mungkin juga karena saya tidak mengerti di mana letak karma dalam siklus kehidupan. Saya terlalu banyak menilai sesuatu lewat pandangan mata.
Tapi pada akhirnya saya merasa bodoh karena terus mengingat karma itu. Saya malah seperti terus hidup di masa lalu dan lupa dengan esok dan hari ini. menjadi pribadi yang tidak lekas menyelesaikan tugas dan bersiap untuk esok hari. Ada hal penting yang kini tidak saya miliki, yakni semangat. Bahkan sudah tidak bisa mendefinisikan lagi mengenai apa itu semangat. Bukankah itu sebuah tanda kematian?
Saya pernah mendengar kalau “semangat adalah bahan bakar kesuksesan”. Kemudian terbayang mengenai motor tanpa bahan bakar. Pasti tak akan pernah bisa jalan. Bisanya hanya dituntun. Dengan begitu perjalanan menjadi hak sang penuntun. Tentu itu bukan merupakan hal yang layak bagi lelaki berumur 25 tahun. Lelaki yang sudah seharusnya mampu membuat pilihannya sendiri dan menjalaninya. Sudah bukan lagi waktunya untuk parassit sambil bersandar pada ide-ide yang “melangit”.
Pada akhirnya saya menyadari kalau saya memang terlalu santai, atau bisa dibilang malas. Juga bodoh. Saya terlalu melihat orang lain yang saya fikir penuh dengan keberuntungan. Kemudian iri atau berharap mendapat keberuntungan yang sama, Tanpa saya pernah intropeksi dan bersyukur. Atau menyadari bahwa setiap cerita, kondisi dan tragedi pada setiap jiwa memang berbeda. Hanya kadang semua itu memiliki hubungan atau makna yang sama, kadang juga tidak.
Penah saya berfikir bahwa hidup ini seperti sebuah transaksi. Selalu ada yang harus dibayar dan juga di trima. Kadang ada diskon dan juga promo. Kadang pula ada bonus. Selalu ada resiko untuk sesuatu yang ”instan”. Harga yang cukup akan menentukan kualitas dan kualitas sejati akan teruji oleh waktu. Saya memang banyak santai, berfikir dan melamun. Kemudian mudah mengatakan banyak hal, namun kurang bisa mengaplikasikannya.


Komentar