Ustad Saiful Huda -testimoni


Pak,
Begitulah saya dan mungkin teman-teman lain mengingat beliau. Entah siapa yang memulai nama itu untuk beliau. Ustad Saiful Huda.

Saat ada yang bilang "satu tauladan lebih bernilai dari seribu kata-kata", maka beliaulah yang langsung saya ingat. Tiga tahun bisa tinggal bersama beliau merupakan anugrah bagi saya. Menurut saya beliau merupakan guru kehidupan setelah keluarga. Cukup pantas ketika para Alumni MAMNU -terutama Santri putra- menganggap beliau adalah ayah sekaligus guru bagi mereka. Beliau menunjukkan bahwa satu teladan lebih berguna daripada seribu kata-kata. Tidak banyak yang tercatat dalam diri saya mengenai beliau, tetapi masih ada yang selalu saya berusaha untuk mempertahankan ingatan itu. Mungkin ini sebagiannya.

Tiga tahun menjalani puasa di asrama dan pada awal puasa beliau selalu bilang tentang hadis nabi “Khairul umuri’ ausatuha” sebaik-baik perkara adalah yang sedang/pas saja. Dulu itu bertujua untuk mendidik kita supaya tidak malas meski berpuasa, tidak berlebihan saat berbuka dan tidak mengharap cepat saat sholat tarawih. Setiap tahun saat awal puasa beliau selalu mengucapkan itu dan berusaha meneladaninya untuk sholat tarawih.

Saat hari-hari pertama minggu-minggu pertama tinggal di MAMNU beliau menekankan anak-anak untuk menata sandalnya masing-masing. Atau ketika ada santri yang melanggar maka hukumannya adalah menata sandal seluruh asrama. Belakngan saya jadi bisa merenunginya, bahwa untuk menata hati harus dimulai dari sesuatu yang sangat sederhana sekaligus sepele. Yakni sandal.

Saat sebagian santri akan menempuh lomba. Sehabis sholat beliau mengajak anak-anak untuk berdoa “semoga kita diberikan yang terbaik oleh Allah”. Beliau tidak bilang semoga kita menang. Karena yang terbaik menurut allah tidak sama dengan keinginan kita.

Ketika ada dua santri ada yang berkelahi, beliau menyuruh mereka berdua untuk bergantian mengendong sambil mengitari lapangan/masjid. Mungkin memang begitulah hidup ini, kadang kita harus mau menanggung beban orang lain dan kadang juga kita membebani orang lain, jadi kenapa harus bertengkar?

Sebenarnya secara pribadi ada perasaan jengkel tersendiri dari saya pada beliau. Dahulu pas saya meminta izin pulang saat pernikahan kakak saya dan tidak diberi izin dan akhirnya saya putuskan untuk keluar tanpa izin –yang itu membuat saya kena hukuman-. Tapi saat saya di rumah saya mendengar kabar bahwa teman saya dapat izin pulang dari beliau. Saya berfikir teman saya bisa pulang karna dia keturunan kiai dan juga orang terhormat. Bukan keturunan petani seperti saya, saya merasa itu tidak adil.

Tapi betapa hinanya saya jika sampai saat ini saya masih memiliki perasaan itu. Ditengah banyaknya juga kesalahan saya dengan beliau, yang saya sakin beliau pasti dusah memaafkan dan melupakannya. Di tengah setiap doa beliau untuk anak-anaknya termasuk saya. Bahkan ada banyak kenormalan sebagai keluarga yang beliau tinggalkan untuk memfokuskan waktu, tenaga dan fikirannya kepada anak-anak di MAMNU.

Pak,e
Maafkan anakmu ini yang masih nakal
Yang selalu pura-pura lupa dan tidak tahu
Yang tak mampu merasa atau bahkan tak mau merasa
Yang tahu kebenaran tapi tak menjalankan nya
Yang tahu kesalahan tapi tak menghindarinya
Yang lebih mencintai kesenangan dan tak peduli dengan perjuangan

Pak,e
Semoga tauladan panjenengan bisa selalu hidup di hati saya
Semoga saya bisa "bondo bahu pikir, nek perlu sak nyawane" sebagaimana wasiat Kiai Zarkasi pada njenengan
Semoga panjenengan diberikan yang terbaik oleh Allah

Amiin

Komentar