Dialektika yang Tidak Selalu Indah dalam Perasaan

Matamu masih tetap sama, sayu dan penuh dengan rahasia. Kau tengah diam, tapi dalam sepersekian detik matamu telah mengungkapkan ratusan kata yang hanya dapat kuterima dan tak dapat kuingat kembali. Selama dua menit kau duduk di depanku. Sambil sesekali tersenyum tanpa memperlihatkan gigimu yang mungil-mungil dan tersusun rapi itu. Mungkin ini yang dikatakan orang bahwa diam bisa berarti mengungkapkan banyak hal. Kau sama sekali tidak mati. Selama ini namamu hidup dalam ingatan orang yang ada di depanmu dan mungkin orang lain yang entah siapa aku tidak mau tahu.

Kita duduk bersama di bangku yang saling berhadapan. Posisi ini berbeda dengan waktu kita masih bersama dulu. Kau selalu mengajakku untuk duduk bergandengan. Tapi ini bagiku sama sekali tak memberikan makna bahwa kita saat ini berusaha saling menjauh. Kita begitu dekat bahkan tanpa sebuah sekat. Kita menyatu tanpa menyerahkan diri untuk melebur. Namun fakta kongkritnya kita memang sudah tiada. Kini hanya ada aku dan kamu sedang duduk berhadapan di sebuah meja di tepi jalan. Kau terlihat bingung untuk memulai sebuah percakapan dan rasanya akupun sama. Kau sudah merelakan dirimu untuk duduk di depanku tanpa aku mengundangnya saat aku tengah sendiri bermain ponsel. Sudah sepatutnya aku mengisi kesunyian suara di antara kita agar suasana tak menjadi pekat.

“ dari mana?” satu ungkapanku membuka percakapan.

“ehm, hanya jalan-jalan. Bukankah kamu tahu hal ini biasa kulakukan !”

Aku tersenyum sendiri merasakan kebodohanku.

“boleh kau bertanya hal pribadi?”

“tidak penting apakah aku sudah makan tau belum saat ini. Aku mau berbohong bahwa aku sudah makan pun kau juga tak akan tahu”

Rasanya sedikit tersentak batinku disaat itu. Bukan karena kau masih mengingat mengenai gaya humorku saat dengan serius menanyakan hal pribadi. Namun karena saat ini kau menjawabnya dengan ekspresi yang berbeda. Tanpa tawa bahkan senyum sekalipun, kau seakan membuang jauh-jauh pertanyaanku tadi. Ada pertanyaan yang kuat dalam hatiku, sedang dalam masalah apakah dirimu?. Meski kini masalahmu tak penting lagi bagiku.

Aku berusaha tetap tenang. Kucoba untuk tersenyum dan mengalihkan perhatian supaya suasana menjadi lebih sejuk. 

“sedang baca buku apa skarang?”. Aku melanjutkan bertanya.

“aku tedak berniat membaca buku.”

“kenapa?”

“menurutmu kenapa kita musti membaca buku?, apakah karna sudah di cetak dan semestinya dibaca?, karna kita sebagai akademisi?, atau untuk berusaha dituliskan kembali?. Yah, sepertinya sering begitu.”

“begitu kenapa?” tanyaku. Rasanya dia begitu ingin berbicara banyak hal.

“ya begitu. kita butuh buku hanya untuk menulis kembali apa yang sudah ditulis oleh orang, membaca kembali hasil tulisan orang yang itu dari tulisan orang lain juga. Mengungkapkan kembali apa yang sudah diungkapkan orang lewat bukunya. Benar begitu kan?. Rasanya tak ada yang baru dalam hidup ini. Semuanya serba berulang, apa yang kurasakan dulu sekarang kurasakan kembali. Apa yang menimpa diriku dulu juga menimpaku lagi saat ini. Hanya waktu dan dimensinya saja yang berbeda. Apakah menurutmu juga begitu?”

“ehmm, maaf aku tidak tahu”. Aku menjawab ketus. 

Tak kusangka jawabannya akan menjadi serumit dan seserius itu. Aku adalah orang yang merasa mengenal banyak tentangnya. Namu ada sedikit perubahan dengan yang ini. Firasatku mengatakan kalau dia sedang tidak ingin berdiskusi dan berdialektika soal sejarah dan filsafat. Dia hanya sedang ingin mengungkapkan banyak hal yang aku tak tahu itu apa. 

Setengah menit aku terdiam. Dia juga tak melanjutkan kata-katanya lagi. Ingin aku mengalihkan obrolan kembali, namun kulihat emosinya sudah terlihat menekan. Aku coba mengalihkan perhatianku pada handphone di sampingku. Dia diam dan aku tak mencoba untuk menanyainya kembali. Kufikir sebentar lagi dia akan pergi melanjutkan jalan-jalannya. 

“bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini?”. Dia bertanya padaku. Aku terdiam agak lama, kucari alternatif kalimat lain untuk menjawabnya. Kemudian kuletakkan handphone dan kukatan.

“pertanyaanmu seperti wartawan saja. Terlalu terbuka dan membuatku harus menjawabnya panjang lebar.” Jawabanku sebagai pembalasan.

“kenapa, tidak suka kah?”

“kamu tahu aku bukan orang yang mahir berbicara banyak. Pernah kupaksakan untuk berbicara banyak, tapi aku malah tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan. Bahkan aku duduk di kursi ini hanya untuk diam, bukan untuk bicara.”

“maaf”. Dia kembali terdiam.

Aku dan dia kembali saling terdiam dan hanya saling mengurusi benak masing-masing. Rasanya memang agak canggung, duduk berhadapa di kursi pinggir jalan tanpa saling berbicara satu sama lain. Bukan juga saling memainkan handphone. Tapi sejenak kemudian aku merasa sama sekali tidak ada masalah. Aku bisa mengisinya dengan membayangkan sesuatu dan kemudian secara tidak sengaja berbicara sendiri. Atau mungkin mencari perhatian lain yang itu bisa bertahan dalam diam. Bisa juga aku dan dia meleburkan diri dalam kebingungan untuk mencari obrolan yang tepat saat ini. Itulah hal yang sangat mungkin terjadi dan kurasa memang tengah terjadi saat ini. Menjelang sepuluh menit akhirnya dia berpamitan untuk pergi. Kita saling bersalaman dan aku mengingatkannya untuk berhati-hati di jalan.

Aku melihatmu berjalan menjauh. Aku menyadari ingatan tentang kita masih saling berpelukan. Ingatan itu membuatku dapat melihat bahwa masa lalu menjadikan hatiku sedang tidak baik-baik saja. ada yang bilang, kalau  kita menyakiti orang lain itu seperti menancapkan paku pada kayu. Saat kita meminta maaf dan yang disakiti memaafkan maka kita hanya mencabut paku itu dari kayu. Bekas paku itu akan terus menyejarah. Kini sejarah itu telah merusak ingatanku. Padahal ingatan adalah satu kemampuan yang luar biasa jika kita tidak berurusan dengan masa lalu yang seperti itu. Barang kali masing-masing dari kita akan menyajikan sebuah pengalihan. Satu cara untuk menjadikan diri agar terus terlihat tegar sebelum kita bakal terkapar. Kau akan memprisai dirimu dengan sekian banyak kata-kata yang kau buat. Melukis prisai itu dengan bunga-bunga citra yang rapuh dan memamerkannya agar mendapat perhatian. Sedangkan aku hanya butuh pulang untuk menemui ibuku yang kini tengah dirundung gelisah karna aku. Memang hanya perempuan yang bisa mengerti penderitaan perempuan lain, tapi seorang ibu bakal mengerti mengenai anaknya sebagai bagian dari materi dan jiwanya. 

Kau sudah pergi dan kini kurasa tak ada lagi gemuruh dalam hatiku mengenai dirimu. Ungkapan-ungkapan yang menjadi harapan sudah menyublim ke langit. Mirip seperti gelembung-gelembung sabun yang tersinari oleh mentari dan kemudian meletus dengan sendirinya. Kita mungkin akan berusaha saling melupakan meski sulit rasanya. Tetapi kesulitan itu bukan lantas dijadika alasan untuk tidak dilakukan. Senadainyapun kita masih saling mengingat, biarlah ingatan itu hadir tanpa harus di sertai sebuah dendam. Biarkan dia menjadi sebuah refleksi kesadaran bahwa dialektika memang tak selalu indah. Aku malah membayangkan kalau suatu saat nanti kita bakal duduk bersama lagi. aku dan kamu berhadapan sambil minum kopi. membicarakan masalalu sembari sesekali tersenyum dan menertawakannya. Yah, sesederhana itu.

Komentar