Sebuah Persaudaraan Tidak Punya Rumus Yang Konstan


Tiga hari yang lalu mas ku di Blitar menelfonku dan tadi sore aku mendapat vidio call dari Mbak ku di rumah. Dia menanyakan persoalan yang wajar sebagai saudara. Aku sendiri juga tidak begitu seriuas menanggapinya. Aku tidak yakin apakah sebagai saudara dia kangen kepada adiknya. Atau dia lebih untuk berusaha menjaga hubungan sebagai keluarga. Entahlah, karna padadasarnya aku juga enggan untuk menghubunginya. Aku seperti tidak begitu dekat dengan mereka, aku jarang juga menceritakan persoalan yang menurutku penting dalam hidupku kepada mereka. Rasanya sangat tipis sekali hubungan emosionalku dengan para saudaraku. Dari dulu hanya menghubunginya karena persoalan minta uang, mengurus barang dan hal-hal materil lainnya. Rasanya tidak pernah aku berbicara mengenai hal-hal rumit seperti mimpi-mimpiku, perasaanku dan juga cita-citaku kepada meraka. Persoalan itu lebih banyak kupendam sendiri dalam diriku karna kupikir mereka tidak akan mengerti. Karna aku sering merasa mereka lebih banyak mengaturku dengan hal yang tak kumengerti. Menyuruhku untuk bersikap begini-begitu, menuntutku untuk menjadi ini dan itu dan memarahi aku seenak kepentingan mereka.

Pada dasarnya sampai saat ini aku masih marah dengan semua saudaraku. Jika mereka pikir dengan membuatkan masakan dan memberiku uang mereka berhak untuk mengatur dan memarahiku seenaknya, maka aku sama sekali tidak berharap dilahirkan di keluarga yang seperti itu. Apa gunanya punya saudara jika dia tidak pernah mengerti perasaanmu? Menyuruhmu baik namun tidak memberikan teladan yang baik dan bahkan pernah malu mengakuimu sebagai adiknya karena gaya hidupmu sendiri?

Aku benar-benar tidak bisa melupakan masa-masa itu

Jika benar bahwa keluarga adalah media pendidikan yang pertama. Maka sikapku dan juga sampainya diriku pada saat ini adalah korban dari lingkungan itu. Setiap kali mereka menyalahkan diriku, aku akan berbalik menyalakan mereka. Itu sama halnya dengan aku menyalahkan keadaan waktu itu dan entah apa lagi yang aku serang sebagai pembenaran. Aku bingung, sampai kapan aku masih terperangkap di situ? Hidup di hari ini dalam pikiran masa lalu.

Aku ingat pada sebuah filosofi Cina yang mengatakan bahwa “saudara itu kental, sedang persaabatan itu cair” dalam satu persepsi aku meliat keduanya bisa bersatu dan bercerai. Namun dalam sesuatu yang kental masih ada rasa keterikatan secara alami. Intinya adalah, sampai kapanpun saudara akan tetap menjadi saudara.

Kisah persaudaraan tiap manusia tidak sama. Sebuah persaudaraan bukanla sesuatu yang harus di idealkan. Setiap persaudaraan adalah pergumulan dari rasa dan ego yang tidak ada rumusnya. Jadi menurut saya, biarkan saja setiap persaudaraan bergumul pada kisanya masing-masing.

Komentar