Cintaku Terhalang Kali Brantas

“Mak, bagaimana dengan si denok kemarin?” Aku menanyakan soal cewek yang kemarin kuajak ke rumah dan ku kenalkan dengan emak.

“La kamu sendiri gimana?” jawab emak sambil melipat pakaian yang tadi sore baru diambil dari jemuran.

“aku ikut kata emak aja” kataku.

“sek, tak tanya dulu. Kamu bener mau ikut kata emak?. Apakah kamu serius maunya Cuma sama dia? Gak coba cari dulu yang lain. Lawong wedokan yang lebih cantik juga masih banyak.”

“Kog sampean malah ngomong gitu? Sampean gak suka sama dia?”

“Dia itu rumahnya di daerah selatan Kali Brantas. Sejak jaman mbahmu dulu kita gak boleh kawin dengan yang nyebrang kali, itu jadi pantangan dari leluhur kita”

Rasanya aku ingin langsung protes. Tapi emak malah melanjutkan perkataannya sembari melipat baju. Tanpa dia memandangku dan mungkin dia tidak mau mengerti dengan perasaanku.

“Kalo kawin nyebrang kali, itu akan membuat usia perkawina bertahan lama. Karena Kali Brantas sifatnya memisah. Ini memang tidak ada hubungannya dengan agama. Tapi sebagai wong jowo kita mesti eling dengan leluhur. Dulu ada yang namanya Slamet anak RT selatan situ. Dia nekat kawin dengan pacarnya yang anak kidul Kali Brantas. Banyak orang yang ngrasani bahwa perkawinannya tak akan lama. Akhirnya setelah dua tahun keduanya uring-uringan karena sama-sama gak cocok dengan mertua masing-masing. Selama dua tahun itu mereka juga belum berencana memiliki anak, padahal kedua orang tua mereka sama-sama mengharapkan cucu. Akhirnya slamet memilih kerja di luar negeri karena tidak tahan hidup dengan mertuanya. Sekarang istrinya kayaknya sudah dicarikan suami lagi sama orang tuanya.”

Mendengar cerita itu aku jadi sedikit merinding. Tapi hal itu tak membuat diriku takut dan tidak mau mendebat.” Tapi kan gak semua yang menikah dengan orang di seberang kali Brantas berakhir pisah mak. Kalo memang jodoh ya mau bagaimana lagi.”

Kemudian emak berhenti melipat baju dan mulai memandangku dengan tatapan yang santai sambil sedikit tersenyum.

"Memangnya kamu yakin kalau dia itu jodohmu? Atau kamu Cuma mau pacaran saja. Bawa anak orang kesana kemari, bahkan samai dibawa kerumah dan dikenalkan pada emak. Tapi kamu sendiri tak ada niatan untuk menikahi dia. Kita ini dari dulu diajari kalau 'keyakinan empat puluh orang itu bisa disamakan dengan satu wali. Makanya kita mesti hati-hati”

Aku diam saja. Sudah jelas aku tak tahu harus menjawab bagaimana. Pertanyaan pertama serasa sebuah Skakmat dan pertanyaan kedua lebih seperti pukulan yang mengobrak-abrik isi kepalaku.

“Ya sudah, di pikir-pikir saja dulu. Bukannya emakmu ini gak setuju kamu dengan dia. Tapi kita harus mengerti dengan yang ada di sekitar kita.” Emak mengakhiri percakapan malam ini sambil membawa baju yang sudah dilipatnya ke dalam lemari.

Sebenarnya aku tak bisa mengerti dengan apa yang dikatakan emak. Rasa hatiku terus ingin mendebat mengenai pandangannya. Tapi kata-kataku untuk mendebat tak tak mampu untuk terucap. Aku terus mengiyakan saja apa yang ia katakan. Hingga dalam hatiku timbul rasa takut akan hal yang tak dapat aku percaya.

Karena memang tidak masuk akal sekali hal itu. Padahal ini masih soal letak rumah. Belum juga kedua orang tua kita bertemu -entah mereka bakal cocok atau tidak?-. Belum juga nanti masalah kecocokan weton antara aku dan dia. Ternyata benar juga kata lirik lagu Dewa 19. "Cinta bukan hanya harta dan tahta", tapi juga soal letak rumah, weton dan mungkin akan ada tetekmbengek lainnya.

Semakin lama kurenungkan rasanya semaki gak jelas perasaanku mau gimana. Namun setelah kupikir dengan agak tenang, aku memang sebaiknya mengahiri ini. Sebelum hubunganku dengannya berjalan lebih jauh.

Kuraih hanphone dan kulihat ada banyak pesan masuk darinya. Kuputuskan untuk tidak menjawabnya. Akan lebih baik juga jika kimatikan HP-ku agar dia tak bisa menelfon, dan jika dia besok marah padaku, itu akan lebih baik menurutku.

Komentar