Saat Kau Mendua

Aku teringat percakapan itu. Saat kita mulai berdebat soal idola masing-masing. Kau tampak sinis saat kubilang kalau aku suka lagu Dewa 19, apalagi menyukai lagu Rhoma Irama.

"Mengapa kau suka orang seperti itu? Mereka bukan tipe orang yang setia dengan pasangannya." Celetukmu mencibirku.

"Tapi menurutku lagu mereka bagus dan bisa dinikmati. Biarkan saja orangnya kayak gitu " jawabmu saat itu.

Entah kenapa kau begitu bersemangat jika membicarakan soal ini. Padahal aku kurang peduli dengan selera musik kita masing-masing. Terkadang sebenarnya aku juga ingin mencibir saat kau lebih suka musik K-pop yang bagiku kurang bisa dinikmati. Atau pada musik-musik indie yang kau bilang penuh dengan idealisme dan pemberontakan. Aku tidak tahu apakah kau mengenal musisinya secara personal atau tidak. Jangan-jangan kau hanya terpesona oleh rupa-rupa citra yang di kau lihat di sosial medianya. Atau jangan-jangan malah aku yang seperti itu.

"Orang yang tidak bisa menjaga perasaan wanita itu tidak pantas untuk di idolakan".

katamu saat mengejekku mendengarkan lagu-lagu SONETA. Tapi sehari setelah itu kau bercerita padaku mengenai bagusnya puisi Chairil Anwar. Kau ajak aku pergi ke toko buku untuk mencari naskah drama "AKU" yang ditulis oleh Sumanjaya. Aku tidak bercerita padamu bahwa aku sudah membacanya. Apalagi menceritakan hubungan Chairil dengan beberapa wanita di buku itu. Namun aku jadi mengerti bahwa sebenarnya kau punya standar ganda. Suka membanding-bandingkan, dan yang lebih bodoh lagi, kau tidak membedakan antara pribadi orang dan karyanya.

Kukira tidak banyak hal berbeda di antara pola pikir kita. Sama-sama suka buku, terkadang juga pergi ke tempat teater. Sering pula kita membicarakan film yang sama-sama kita anggap bagus. Tapi ternyata ada juga perbedaan dalam pola pikir itu. Mungkin hal ini lebih pada sensitivitas rasa masing-masing. Aku benci saat mulai membicarakan hal sepele itu. Kupikir itu tidak ada gunanya. Hanya akan membuat suasana obrolan menjadi tegang.

Aku ingat saat pertama kita membicarakan soal musik. Kau bertanya padaku.

"Menurutmu lagu yang bagus itu yang seperti apa?"

"Aku suka yang musiknya enak didengar. Bila musiknya bagus dan juga liriknya juga bagus, maka aku akan jadi tambah suka. Kombinasi antara musik yang bagus dan lirik yang indah akan membawa kita pada imajinasi suasana dan juga aksi di dalamnya"

"Kalau lagu itu liriknya bagus tapi musiknya tidak bagaimana?"

"Lagu yang seperti itu mungkin akan bagus di dengarkan satu atau dua kali. Selebihnya akan terasa membosankan. Karna kita tak akan tersentuh oleh suasana musiknya". Sejenak kita terdiam. Kemudian aku menambahi.

"Tapi itu sebenarnya soal selera masing-masing orang sih. Tak ada yang patut dipermasalahkan. Kita tidak bisa kan, melihat orang dari selera musiknya. Tapi menurutku musik bisa membantu orang menemukan dirinya"

"Apa kamu suka lagu The Beatles?"

"Tidak. Kalau kamu?"

"Aku juga tidak sih. Tapi kenapa mereka bisa sampai setenar itu? Bahkan sampai hari ini. Sebagian orang malah bilang hidup tanpa lagu-lagu The Beatles tidak akan menyenangkan, kalau menurutmu?"

"Entahlah, Aku tidak tahu. Mereka mungkin memang bagus, tapi musik mereka bukan yang familier di telingaku sejak kecil. Aku tidak keberatan mendengar musiknya saat ramai, tapi saat sendiri aku tak pernah berpikir untuk memutar lagu mereka"

Percakapan kita merupakan hal yang terkadang aku rindukan. Bukan soal apa yang dibahas, tapi soal kita yang bersama dan kau yang bicara. Perdebatan akan banyak kulupakan setelahnya. Aku tak mau melihatmu tunduk terdiam karena kalah bicara. Karna aku tidak suka jika kau yang diam.

Tiga tahun aku berhubungan dekat denganmu dan aku merasa kita tak pernah sepenuhnya saling mengenal. Ada saja yang tak kutahu darimu. Ada juga pendapat yang sama-sama tidak konsisten di antara kita. Sehingga hal itu merubah pandangan kita masing-masing. Kau selalu saja gagal mendefinisikan diriku, begitu pun diriku padamu.

Aku ingin mengakuinya saat ini. Bahwa aku pernah punya satu angan-angan bersama, di tengah banyak khayalan yang ada. Satu angan yang tak pernah aku ucapkan, tapi aku selalu berharap dapat mewujudkannya. Yakni, suatu saat jika kita sudah menikah dan punya anak, kita akan jalan-jalan ke Jepang dan berfoto di Taman Nobita. Tepatnya di tiga gorong-gorong tempat Nobita dan kawan-kawannya berkumpul. Mungkin menurutmu itu hal yang lucu dan kurang menarik. Tapi aku rasa itu hal yang menyenangkan.

Kukira disana kau akan mengajak pergi ke Museum Kanagawa untuk Napak tilas pada Akutagawa. Penulis novel Rashomon itu. Atau mungkin juga kita akan pergi ke daerah Kawaba untuk menyaksikan langsung kehidupan spiritual di sana. Tapi aku akan tetap memandang Taman Nobita sebagai tujuan utama. Dahulu aku selalu berharap keinginan itu dapat terwujud.

Ya sudah begitu saja. Ini sudah tengah malam. Aku harus bangun untuk pekerjaan besok pagi. Semoga besok beban kerja di sini tidak terlalu banyak seperti tadi siang. Sehingga aku dapat menuliskan cerita kerinduanku padamu kembali. Hari-hari rindu yang kualami mungkin hanya akan bisa ter curahkan di sini, karena aku sudah tidak kau harapkan untuk bersamamu. Terima kasih dan selamat malam.



Komentar