Rokok Itu Sepertiperti Permen, Tapi Bukan

Harga rokok selalu naik setiap tiga bulan. Rata-rata kenaikannya sekitar Rp. 500. Tapi gak ada orang yang protes soal itu. Semuanya kaum perokok menerimanya, meski mungkin dengan berat hati. Namun menjelang harga rokok mau dinaikkan hampir dua kali lipat dari harga awalnya, banyak orang meresahkan hal itu. Terus bagaimana dengan mereka para perokok di kelas ekonomi-lemah (seperti juga saya ini)? Bahkan saya sendiri tak punya jawaban yang mantap kecuali "Embuh". Karena rejeki, umur dan juga jodoh berada di tangan tuhan, Sedangkan rokok berada di tangan penikmatnya.

Jumlah perokok sepertinya kian bertambah setiap tahunnya. Sebagian mungkin belum cukup umur, dan sebagain lain sudah di tapi belum punya penghasilan sendiri (seperti saya jaman kuliah). Merokok mungkin kebutuhan primer bagi pelakunya. Bukan hanya sebagai katarsis dalam hidup yang keras ini, tapi juga budaya yang diwariskan dan dibudidayakan oleh industri rokok sendiri, dan juga oleh lingkungan kita bersama. 

Urusan kesehatan saya pikir masih banyak diperdebatkan, namun industri rokok banyak berkontribusi dalam soal pendidikan, kesenian, lingkungan hidup, bahkan dalam soal kegiatan olahraga dan kesehatan itu sendiri.

Saya tidak pernah menganggap industri rokok salah(karena saya juga perokok, hehe). Hanya saja dalam hati rasanya kepengen marah ketika ada anak kecil yang disuruh membeli rokok oleh bapaknya atau oleh orang yang lebih tua. Karena hal itu jelas memperlihatkan tidak adanya proteksi kalau anak-anak tidak boleh merokok. Lama-lama anak itu akan merasa membeli rokok tidak ada bedanya dengan membeli permen. Padahal secara fisik dan mental anak-anak belum siap untuk merokok. Karena mereka masih waktunya jajan permen.

Semoga kita sama-sama sepakat bahwa usia anak-anak belum waktunya untuk merokok. Mungkin cukup sekian celoteh saya malam ini, semoga malam berikutnya saya bisa berceloteh lebih baik lagi. Amiin.




Ditulis di Minggiran, Krapyak

Komentar