Sedikit Pelajaran Dari Pram

Pada awal masuk organisasi pergerakan, kawan-kawan memberitahu saya mengenai seorang tokoh sastra bernama Pramudya Ananta Toer. Pada masa itu saya anggap diri saya cukup tahu saja, karena saya belum pernah bersentuhan dengan karyanya. Sampai saya kemudian mulai punya keinginan untuk membaca Novelnya yang terkenal, yakni Tetralogi Pulau Buru dan Arus Balik. Dari situlah saya mulai merasa kenal dengan Pram. Kemudian dari banyak artikel, Youtube dan karya Pram lainnya saya jadi semakin kagum dengan beliau.

Pram merupakan bagian dari tokoh yang berusaha menulis untuk bangsanya. Menulis bagi dia merupakan tugas nasional sebagai warga negara. Karya dan juga kehidupan pribadinya mengajarkan saya bahwa tidak semua keinginan baik akan berdampak baik dan juga akan memberikan respons yang baik pada dirinya. Hal itu terbukti dengan ditahannya dia pada dua rezim Indonesia, pada masa pemerintahan Soekarno dan juga pada masa Orde Baru.

Tetralogi pulau buru itulah yang memberi pengetahuan bahwa, penjajahan itu buruk tapi tidak semua orang belanda itu buruk. Perang itu kejam, tapi tidak semua tentara itu jahat, belanda adalah negara yang menjajah kita, namun tidak semua orang belanda itu setuju dengan penjajahan negaranya pada kita. Di situlah ada pelajaran untuk membedakan mengenai fenomena universal dan juga fenomena partikular. Maka sebagaimana kata banyak peneliti, novel itu mengajarkan pada kita untuk terbuka pada kemodernan sambil tetap menjadi diri sendiri.

Saya melihat itu dalam novel bumi manusia, bagaimana Minke di nasihati ibunya untuk tetap meneladani pusaka yang bernama Keris. Keris bukan senjata melainkan pusaka. Pusaka bukanlah alat untuk berperang secara fisik, melainkan bagian dari kepribadian. Keris memiliki motif tersendiri, memiliki tempat tersendiri di mana dia harus diletakkan dan juga memiliki metode tersendiri dalam pembuatannya. Maka untuk menjadi Indonesia

kita perlu belajar dari filosofi keris.

Sebenarnya sampai saat ini saya masih memiliki hasrat untuk membaca ulang tetralogi pulau buru dan juga membaca karya beliau lainnya. Namu terkadang perasaan saya berkata bahwa sudah tidak ada lagi untuk membaca, sepertinya fokus hidup untuk keadaan saat ini memang sudah berbeda. Entah itu benar atau salah, atau karna saya yang masih memiliki banyak kemalasan dan tidak bisa mengatur waktu.

Yang pasti, Pramudya Anantatoer masih berada dalam benak saya sebagai isi perpustakaan dalam fikiran. Ibarat kata seorang novelis bernama Mario Cohellu, “ taruh 100 buku di perpustakaan pribadimu dan sebarkan buku yang lain. 100 buku dalam perpustakaan pribadimu adalah untuk buku yang kamu baca berulang kali”. Buku tetralogi pulau buru dan juga Cerita Dari Blora dalah bagian dari 100 buku di perpustakaan pribadi saya.

Ada apa dengan buku Cerita Dari Blora?

Karena buku itu mampu menembus relung terdalam dari diri saya. Saya tidak tahu buku itu ditulis kapan dan pada saat Pram dalam konsisi apa, tapi cara dia menceritakan hubungan si “aku” dengan ibunya menggetarkan hati saya yang sedari kecil tidak bersama sosok ibu. Sedangkan persoalan kolonialisme dan pergerakan kurang lebih sama dengan pemaparan buku sejarah dan juga novel sejarah yang lain.

Komentar