Menziarahi Masa Lalu

Terjadi lockdown secara nasional kemarin, 24 April 2020. Entah mengapa hal itu tak terasa mengganggu. Barang kali memang kau tak banyak berpikir untuk mudik. Ataukah memang dalam hati kau merasa tak punya tempat untuk mudik. Kembali dirimu bertanya, apakah makna dari mudik? Kujawab, mudik adalah sebuah ritual untuk menziarahi masa lalu, dan setiap orang punya pandangan berbeda terhadap masa lalu. Kau pun merasa punya pandangan sangat khusus di sana.

Pertanyaan kembali muncul, tentang untuk apa kau menziarahi masa lalu? Apakah untuk mengibadahkan diri pada kepantasan dan tradisi. Menggelap-ngelap sisa-sisa perasaan yang masih kau miliki di sana. Sementara hati dan perasaanmu tak sepenuhnya disana. Kau hanya sedang menjalani garis edarmu yang sangat elips itu. Lalu kau menganggap saat kau berhenti, maka tata hidupmu akan keos. Lebih tepatnya, pergolakan perasaanmu yang akan menjadi keos. Toh pada kenyataannya itu hanya bentuk nostalgia. Karena hatimu tak sepenuhnya disana. Hatimu berada disitu dan kau cukup nyaman untuk menikmatinya. Atau jangan-jangan kau terlalu menganggap nostalgia akan membuat hidupmu bermakna.

Mungkin ceritanya akan menjadi berbeda ketika hatimu masih di kampungmu. Sedang di kota besar itu hanya satu keputusan untuk melakukan tugas pikiranmu. Kau menganggap dirimu harus melakukan itu meski jauh dari hati. Sejauh mana pun kau berjalan kau pasti akan menuju hatimu kembali. Sedang hatimu di kampung juga merindukan dirimu pulang. Di bulan ini kau harus mendekat pada hatimu.

Tapi kini kata-kata menjadi problem compleks. Dimana ada kubu mudik dan pulang kampung. Dua kata itu kini jadi sasaran pelampiasan egomu. Kau menjadi hakim atas potongan vidio yang tak kau mengerti betul jalan panjang komunikasinya. Kemudian kau mulai mengada-ada.

Kau anggap mudikmu(ZIARAHMU PADA MASA LALU) itu sebagai pulang. Nyatanya kau tak serius pulang, apalagi berziarah. Masa lalumu adalah momen, sedang kampungmu kini kau jadikan monumen. Di monumen itu kau hanya akan berkunjung, makan-makan dan berfoto-foto. Hanya untuk itu, dan kau mendomplengkan niatmu pada mereka yang pulang karena kehilangan pekerjaan di kota.

Egomu tinggi tapi rasamu lemah. Atau jangan pikiranmu yang salah. Kau anggap sudut pandang wartawan sebagai fakta, bukan data. Kau masih saja terbawa pada lagu Nasida Ria bahwa wartawan adalah “ratu dunia”.

Komentar