Celoteh Pusing 3 April Lalu
Kurasakan sepi sekali malam ini. Sepertinya suasana keterasingan dalam diriku mulai meningkat. Sedikit suara saja terasa mengganggu. Namun dalam keadaan hening pikiranku menjadi bingung tak karuan. Mungkin beginilah apa yang disebut sebagai alienasi itu. Satu kondisi di mana diri ini bingung karena tak merasa terhubung oleh apa pun.
Sebenarnya aku ingin bercerita tentang diriku yang sudah tidak kerja. Ini pertama kalinya aku memutuskan untuk keluar dari medan pekerjaan dengan alasan yang tidak cukup kuat. Bahkan itu menurutku sendiri. Kesimpulan yang mendekati tepat dari keadaan ini adalah, karena aku memang malas.
Namun perasaanku sendiri berkata bahwa, tidak sepantasnya aku bekerja di sana. Di sana bukan tempatku, di sana bukan pula letak ekspresiku. Rasanya aku kurang terima jika hidup dalam keterkurungan itu. Diam-diam aku menengok pada hati kecilku sendiri. Dia seakan berkata, “jika bukan karena untuk bertahan hidup maka aku tak mau berada di sini”.
Lalu, apa sebenarnya yang aku inginkan dan kucari? Pekerjaan macam apa yang bahagia untuk kulakukan? Aku tidak bilang jenis pekerjaan yang “pantas”, karena itu menyangkut dengan pendapat orang lain. Karena yang “pantas” menurut pendapat orang lain belum tentu juga bahagia untukku kerjakan. Pandangan orang lain kadang lebih menyesatkan ketimbang jalan menuju neraka. Karena orang lain membuat lupa pada apa yang sebenar-benarnya kita inginkan. Hingga di sana bakal menimbulkan gejolak antara keinginan sendiri dan pandangan orang. Kemudian diri kita akan terus berputar-putar dan terombang-ambing sendiri, karena kita berjalan tanpa kesadaran dan tanpa keyakinan diri.
Okeh
Kita kembali pada aku yang kini bisa dibilang sebagai pengangguran. Ternyata kondisi tidak bekerja membuat pikiran ini juga terus bertanya bagaimana nanti? Apakah aku akan bisa bertahan hidup? Apa yang mesti kulakukan sekarang? Sedang kondisi hari ini masih dalam suasana Lockdown. Pertanyaan itu membingungkan diri dan kebingungan itu juga terasa melelahkan. Jika saat lelah bekerja aku terpikir mendapatkan gaji, maka saat lelah pada “kebingungan diri” aku tak terpikir mendapatkan apa pun. Bodoh juga rasanya mengapa aku resend.
Tapi aku tidak menyesal. Aku berterima kasih sekali pada orang-orang yang sudah mewadahiku untuk bekerja di masa lalu. Mereka adalah untuk tetap bertahan. Kini aku hanya perlu untuk memikirkan bagaimana langkah ke depan. Sepertinya tidak banyak pilihan, tapi dalam keyakinanku sepertinya ada banyak. Aku hanya perlu bertanya dulu pada diriku, apa yang membuatku bahagia? Karena itu yang paling penting.
Satu kesalahanku adalah, dalam setiap jalan yang aku lalui aku lupa bertanya, apakah aku bahagia? Padahal itu merupakan unsur penting dalam hidup. Mungkin jawabannya tidak, jika soal itu dijawab hari ini. Entah karena memang keadaan itu bukan tempat yang kuinginkan, atau karena aku sendiri kurang bersyukur. Entahlah.
Rasanya aku berharap keajaiban akan datang dan membawa diriku ke tempat yang membuatku bahagia. Tentu itu sebuah angan yang tidak realistis. Tapi mau bagaimana lagi, keadaannya memang tidak bisa di sikapi dengan realistis. Apa lagi sampai egois. Kupikir hanya itu yang bakal dapat menyelamatkan hidupku.
Namun ini dunia nyata, yang di mana eksistensinya utamanya adalah kerja. Bagaimana aku bisa mendapatkan keajaiban kalau aku tidak bekerja? Rasanya aku harus menanti keajaiban itu sambil bekerja.
Pada kenyataannya dual hal itu adalah kondisi yang berbeda. Butuh satu elemen yang bisa menyambungkan antara keduanya. Karena bila tidak disambungkan maka dua-duanya akan menghasilkan kerapuhan. Elemen penyambung itu adalah doa. Doa adalah ekspresi dari harapan dan nilai spiritual dari sebuah kerja. Maka untuk menguatkan diri ke dalam masa kerja yang penuh dengan harapan. Doa adalah elemen yang tidak bisa ditinggalkan.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya