Lagi-Lagi Merenung
Tadi malam aku menonton vidio Martin Suryajaya di Youtube.
Dia bicara soal kesunyian tidak hanya kondisi di mana orang tengah sendiri dan
tanpa suara di sekelilingnya. Namun kesunyian juga merupakan wujud keterasingan
manusia dari lingkungannya. Tidak hanya itu, kesuniyan juga bentuk dari
ketidakberhubungan manusia hari ini dengan riwayat terdahulunya.
Ketidakberhubungan itu mengakibatkan orang tidak mengenal siapa dirinya dan
tidak tahu apa yang menjadi peran dalam hidupnya ke depan. Begitulah kira-kira
singkatnya yang dapat kupahami dari penjelasan Martin.
Dalam pandanganku penjelasan yang dia berikan menyangkut dua
hal; pertama ialah soal kesunyian itu sendiri yang merupakan simbol dari
kesadaran diri, dan yang kedua adalah menegnai kebingungan dalam melihat
sejarah. Kesunyian merupakan bagian dari sisi hidup yang harus dijalani. Meski
kebanyakan manusia zaman ini tidak tahan dengannya. Tiap orang mau tidak mau
tetap akan melewatinya untuk dapat menuju kediriannya yang baru.
Sedangkan dalam soal kebingungan sejarah, aku melihat ada
banyak kompleksitas masalah di sana. Materi sejarah yang diajarkan di sekolah
sangatlah normatif. Buku-buku itu lebih merupakan doktrin dari rezim yang
berkuasa. Ada banyak kenyataan sejarah yang dibelokkan untuk menjaga citra
orang-orang yang dominan. Sedang dari sisi muatan juga tidak mendalam. Kebanyak
hanya berisi peristiwa, nama dan tahun. Pelajaran sejarah di sekolah tidak
mampu memberikan sebuah bimbingan mengenai siapa kita di masa lalu dan bagaimana
kita harus kedepan.
Maka lengkaplah sudah persoalan itu. Kita menjadi bangsa yang gagal merenungkan
siapa diri kita di masa lalu, sehingga kita tak punya agenda yang jelas di masa
depan. Rasanya jadi tidak heran jika satu generasi datang dan pergi tanpa
sebuah pencapaian dari agenda suatu bangsa. Maka sudah pasti orang-orang di
bangsa ini akan sibuk dengan dirinya, keluarganya dan paling banter dengan
persoalan bisnisnya.
Aku jadi membayangkan kenapa negara Eropa, Skandinavia,
Amerika, Rusia dan bahkan Korea Selatan menjadi sedemikian maju. Salah satunya
mungkin karena mereka menghargai apa yang yang dikaji oleh para cendekiawan di
sana, dan mau menjalankan apa pandangan dari para Funding Father mereka sebagai cita-cita bangsa masa depan.
Sedangkan di sini kita masih saja memperdebatkan siap cendekiawan yang paling layak untuk
diikuti. Banyak mengkritisi apa yang menjadi pandangan cendekiawan terdahulu
dan tidak sempat membangun pandangan bangsa kedepan.
Padahal Bung Hatta dahulu menuliskan fisi mengani negara
sembari dirinya dia singkan. Bung karno menuliskan gagasannya sembari dia juga
memobilisasi masa dan tentunya juga sampai dipenjara. Tapi cendekiawan hari ini
kebanyakan hanya membaca buku dan duduk di meja seminar sambil bicara.
Sedangkan agenda bangsa tak kunjung jelas kemana arahnya. Apakah mereka tidak
sesekali merenung, bahwa kemampuannya mengkritik Soekarno, Hatta dan Syahrir
tidak sebanding dengan waktu, tenaga, dan fikiran yang telah merka curahkan
untuk bangsa ini. Mereka sepertinya rela bahwa bangsa ini tidak punya poros
pada tokoh siapapun tanpa tahu harus bagaimana kedepan.
Semua ini memang masih menyangkut soal gagasan sebuah
bangsa, belum masuk pada tahapan teknis. Namun jika dalam soal gagasan sebuah
bangsa saja kita masih belum memiliki kebulatan pandangan, maka bisa dipastikan
dalam persoaln teknis kita juga banyak sekalai tak sejalan, atau malah sangat
tercerai berai. Harus diakui pula mengenai adanya pihak ketiga dari setiap
zaman di bangsa kita ini. Pihak yang menjajah yang bahkan kita tidak sadar
kalau mereka sedang menjajah.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya