Lahir dan Batin
Allah hu akbar, Allah
hu akbar, Allah hu akbar
La ila haillallah
huwallah hu akbar, Allah hu akbar wa lillahikham
Lebaran idul fitri sudah terjadi kemarin. Sudah dimulai
sejak magrib sampai setelah salat ied. Setelah itu rasanya sudah seperti tidak
terjadi apa-apa. Aku tidak begitu berhasrat menghubungi keluarga. Seperti ada
rasa bahwa menghubungi keluarga bukan hal berharga yang sangat butuh dilakukan.
Mungkin karena yang kuingat secara pribadi dari keluarga adalah kisah yang
menyakitkan. Dan memang baru dua tahun ini aku menemukan diriku yang ternyata
teraniaya sejak dalam keluarga. Aku jadi bertanya pada diriku sendiri, apakah
aku bisa memaafkan mereka? Kenapa juga orang bisa dengan mudah mengucapkan
mohon maaf lahir dan batin. Padahal bagiku itu sangat sulit.
Tapi terasa sangat bodoh sekali bila aku tidak mensukuri
dengan apa yang ada. Bahkan ada yang ada untuk diriku saat ini adalah hasil
dari perjalanan hidup itu. Sebuah energi yang menggerakkan keadaan untuk
membantu ku. Malangnya aku hanya masih saja mengingat hal yang menyakitkan dari
semua yang sudah terjadi. Seharusnya aku bisa adil dalam melihat masa lalu ku.
Mungkin ada orang yang secara nasib keluarga lebih baik denganku, tapi secara
fasilitas aku yang lebih baik darinya.
Ah, kenapa aku malah membahas lagi soal keluarga.
Sebenarnya aku ingin membahas soal lahir dan batin. Soal apa
itu maaf dalam dimensi lahir dan batin. Kenapa orang bisa mudah sekali
mengucapkan kalimat itu. Adalah mereka mengerti benar maknanya? Atau ini hanya
sebuah kata populer saja yang orang mudah untuk menirunya. Bisa jadi memang
orang mengerti maknanya dan mereka sungguh-sungguh mengucapkan itu. Meski
setelah lebaran ada juga kekhilafan, itu juga manusiawi. Tapi aku sangat bangga
untuk mereka yang bisa memaafkan secara lahir batin. Bagiku mereka termasuk
orang yang memiliki kelas spiritual cukup tinggi.
Persoalan lahir dan batin rasanya cukup sulit dipisahkan
dalam hubungan antar manusia. Terkadang, hubungan yang awalnya berada dalam
dimensi batin berubah karena persoalan lahiriah. Begitu juga sebaliknya, hal
yang awalnya menjadi persoalan lahiriah malah berlanjut pada masalah batin.
Ketika ada orang membully kita dan kini dia minta maaf, kita bisa saja bilang
sudah memaafkannya. Tapi apakah kita benar-benar sudah memaafkannya dalam hati?
Itu menjadi persoalan batin kita sendiri. Begitu pula ketika kita menghina
seseorang dan kemudian meminta maaf. Apakah batin kita secara jujur mengakui
kesalahan dan meminta maaf? Atau hanya sebagai bagian dari sikap pantas-pantas
saja di mata orang lain.
Begitulah kira-kira pandanganku melihat ungkapan, “mohon maaf lahir dan batin”. Ungkapan ini memang cermin budaya yang baik, namun tidak layak juga ketika kita ternyamankan dalam budaya tanpa kita sendiri menjiwai isinya. Jadi aku memang butuh lebih banyak mempertanyakan diriku sendiri, untuk lebih belajar serius terhadap nilai-nilai.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya