Pak Fahrudin Faiz: Juru Bicara Milenial Para Filosof

Saat masih jadi mahasiswa filsafat, saya beranggapan bahwa dosen yang paling mudah untuk di terima penyampaiannya ada dua, salah satunya adalah pak Fahrudin Faiz. Hera, teman satu angkatan saya pernah bilang, “kalo pak Faiz masuk ruangan, rasanya kelas jadi adem”. Begitu yang dia katakan setelah kuliah Tasawuf Falasafi bersama belau. Saya anggap itu sebuah pernyataan yang jujur dari pengalamannya sendiri.

Pak Faiz memang cukup faforit di kalangan mahasiswa filsafat, baik pada saat saya masih mahasiswa atau oleh seorang alumni filsafat tahun 90-an yang pernah saya temui. Beliau mampu menjelaskan persoalan-persoalan filsafat dengan sederhana, sehingga mudah untuk dipahami pendengarnya. Cara penyampaian yang mudah itulah yang mendasari saya beranggapan bahwa beliau sudah faham. Sebagai mana Einstein pernah bilang, “bila kau tak bisa menjelaskan dengan sederhana, itu artinya kau belum faham”.

Namun itu pengalaman dahulu, lima tahun sebelum pengajian beliau di Masjid Jendral Sudirman(MJS) cukup populer seperti sekarang. Ukuran populer itu bagi saya cukup sederhana, yakni sudah ada orang dari jakarta yang tergolong artis sudah menyempatkan diri untuk mengunjungi pengajian beliau. Beberapa orang yang tahu kalau saya mengambil filsafat di UIN Jogja juga menanyakan beliau pada saya. “bagaimana pak faiz kalau mengajar di kelas?”, saya langsung ingin bercerita banyak hal tentang belau jika mendengar pertanyaan itu. Namun belakangan saya sadar, bahwa secara pribadi saya juga tidak cukup dekat dengan belau. Jadi mungkin apa yang saya ketahui dari belau secara pribadi tidak jauh dari mereka yang belajar lewat YouTube atau audio mp3.

Saya kurang tahu kapan pengajian beliau di MJS dimulai. Apakah pada saat saya jadi mahasiswa sejak 2012, atau sebelum itu. Perkiraan saya ngaji filsafat beliau di MJS dimulai sekitar 2014. Karena saat sedang jumatan di masjid UIN saya mendengar informasi di mulainya ngaji filsafat di MJS. Yang jelas menurut data yang di website mjscolombo.com, samapi saat ini sudah pada pertemuan yang ke 259. Jadi jika dihitung dari 2014, maka sudah enam tahun  ini pengajian itu dijalankan. Saya melihat hal ini tidak hanya soal kegiatan profesional. Ini lebih sebagai dakwah untuk kebijaksanaan. Sebuah perjuangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Belajar Menjadi Manusia

Selama ini belajar filsafat merupakan sesuatu yang elit. Sesuatu yang jauh mengawang-awang dan tidak realitas. Atau bagi anak muda yang belajar filsafat seperti saya, filsafat menjadi sesuatu yang tampak intelek dan keren. Padahal filsafat sejak dari istilahnya adalah cinta kebijaksanaan. Yang membuat manusia dianggap sebagai Sapien adalah karena dia mampu untuk berfikir dan menghasilkan kebijaksanaan. Jika manusia tidak memiliki kebijaksanaan, maka dia tidak ada bedanya dengan Homo Erectus. Hanya sebagai mahluk yang mengikuti nalurinya saja. Jadi, belajar filsafat sebenarnya adalah belajar menjadi manusia yang sesungguhnya.

Menurut Martin Suryajaya(dalam vidio di chanel YouTube-nya), “filsafat adalah sebuah upaya untuk mencari pertanyaan, lebih dari usaha untuk mencari jawaban”. Pertanyaan itu akan dimulai dari sesuatu yang paling mendasar tentang apa saja. Termasuk tentang diri kita sendiri. Pertanyaan itu akan terus disambung dengan pertanyaan berikutnya, hingga tak ada ujungnya. Pertanyaan demi pertanyaan itu secara tidak langsung akan menjaga kita pada sebagai manusia. Karena orang yang tidak berhenti bertanya berarti orang tidak berhenti belajar. Memang akan ada titik-titik kesimpulan, namun tidak lantas membuat jiwa bertanya itu mandek. Orang yang tidak berhenti belajar adalah orang yang bijaksana. Dia tidak akan merasa dirinya paling benar, karena dia sedang mempertanyakan dirinya sendiri. Dia juga tidak akan mudah menyalahkan yang lain.

Terus Belajar, Terus Mengajar

Saya pernah mendengar cerita banyak tokoh besar yang mencintai ilmu, dan juga mereka yang mengabdikan dirinya pada ilmu. Namun juga percaya bahwa hal-hal seperti itu juga tetap ada pada zaman ini. Tentunya juga dalam konteks dunia hari ini. Konteks dimana nilai-nilai, citra, ego, dan materi berada dalam pergolakannya yang kompleks. Yang bertahan adalah meraka yang mampu konsisten dalam nilai tertinggi. Sebagian mungkin dapat populer dan diapresiasi banyak orang. Ada yang tidak cukup terkenal namun akan tetap di ingat oleh orang-orang tertentu. Seandainya pun manusia melupakannya, tuhan dengan para malaikatnya sudah mencatatnya sebagai kerja yang mulia.

Ada orang yang belajar dan mengamalkannya dalam bentuk kerja atau kepribadian. Ada juga yang belajar dan kemudian mengajarkannya pada orang lain. Di tingkatan tertinggi adalah mereka yang belajar, mengamalkan, dan sekaligus mengajarkan pada orang lain. Ini hanyalah dua variabel, namun praktek peniliannnya tidak mudah karena keduanya saling memiliki manfaat satu sama lain. Orang yang belajar dan mengamalkannya dalam bentuk laku, secara tidak langsung dia juga akan bisa memberikan pengajaran pada mereka yang menyaksikan. Mereka yang belajar hingga kemudian mengajar dan menulis untuk orang banyak, sudah tentu juga berkontribusi besar pada pencerahan zaman.

Penyambung Lidah Para Filosof

Menurut saya, antara belajar dan mengajar filsafat memiliki definisi yang sama. yakni sama-sama membahas mengenai cara berfikir. Bedanya hanya pada yang satu belajar dan yang satu mengajarkan. Tentu keduanya juga sama-sama harus bisa berfikir, bukan hanya mencatat dan mengingat. Dalam hal ini saya melihat pak Faiz sebagai sosok yang mengajarkan bagaimana filosof itu berfikir, dan konklusi apa yang dia peroleh. Unsur subjektifitas dari beliau tetap ada karena beliau yang menyampaikan. Namun pada hakikatnya kita tetap belajar pada para tokoh ulama dan filosof tersebut. Saya melihat beliau memiliki ketepatan hati dalam menempatkan dirinya sebagai penyampai pemikiran para ulama dan filosof itu.

Rasanya tidak mudah untuk menempatkan diri seperti itu. Menganggap bahwa kemampuan dan kesempatan kita belajar adalah anugerah yang diberikan Allah SWT. Juga menganggap kemampuan pikiran kita dalam mempelajari pemikiran filsafat yang ruwet, njlimet dan kadang cukup asing, sebagai anugrah yang musti disukuri, yakni dengan cara dirayakan bersama para pendengarnya.

Sekarang ini ada banyak pembicara publik, atau bisa juga dibilang pengkuliah. Sebagian besar dari mereka berbicara dengan dasar kitab suci, buku-buku dan juga tokoh-tokoh. Namun kesan orang yang terlalu menonjolkan dirinya biasanya sangat tampak. Mereka yang tidak tepat menempatkan dirinya, atau mungkin hatinya sebagai penyampai ilmu orang lain. Karena pada dasarnya dia hanya memahami dan menyampaikannya kembali. Orang yang terlalu menonjolakan dirinya dibanding apa yang dia sampaikan, biasanya malah mendistorsi citra yang dia sampaikan. Bila orang itu tampak mengagumkan, maka dia hanya akan berhenti pada tahap iconic saja, tidak sampai pada tingkat yang dalam amanah.

Saya melihat pak Faiz bukan bagian dari yang seperti itu. Beliau orang yang istiqomah menempatkan dirinya sebagai penghubung ide dan karya-karya filosof itu kepada kita. Maka yang menonjol dari apa yang beliau sampaikan adalah ide dari tokoh tersebut. Saat hati dan fikiran kita bisa menangkap ide tokoh tersebut, sudah tentu orang yang menyampaikannya pun juga ikut dalam hati kita. Kurang lebih begitulah kesan saya dalam mendengarkan kajian filsafat dari beliau.

Pagi kemarin saya merenung-renung sendiri. Memikirkan kira-kira apa istilah yang tepat untuk beliau, hingga akhirnya saya menemukan istilah seperti judul di atas. Dari situlah saya berusaha memulai tulisan ini.

foto : Facebokk Fahrudin Faiz

Komentar