Kedulatan Berfikir

Apakah sebenarnya kedaulatan itu? Apakah bangsa kita hari ini memang sudah benar-benar berdaulat? Saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya penjajahan. Minimal tidak secara fisik. Negara kita sudah diperintah oleh orang kita sendiri, yang juga kita pilih sendiri. Bahkan dalam kampanyenya, sang calon presiden tersebut juga meng-identikan dirinya sebagaimana kita. Mungkin bila kita suatu hari nanti ada identitas baru, yang jumblahnya diperkirakan hampir tiga puluh persen dari demografi bangsa kita. Identitas itu bukan santri, bukan lagi abangan. Tapi identittas cangkruan yang kesehariannya adalah Cuma ngopi, terus tidur, terus makan dan dilanjutkan dengan ngopi lagi, maka bisa dipastikan akan ada yang macak seperti itu. Dan kita bakal bersorak gembira, bahwa ada calon presiden yang berasal dari golongan kita. Padahal jauh dalam kesadaran kita, kita pun menyadari. Bahwa pak atau ibu calon presiden itu tidak akan selamanya bertampang seperti itu. Kalau selama seratus hari jadi presiden saja beliau masih begitu. Bisa-bisa Negara kita bakan dinggap bangkrut oleh para konglomerat luar negeri. Dan akibatnya investasi itu tidak akan kunjung datang, karena mereka menganggap negara ini tidak memiliki potensi. Lawong presidennya saja tiap hari cuma cangkrukkan sambil ngopa-ngopi. Gimana bangsa mau produktif? Pastinya bangsa kita bakal dianggap tidak progresif.

Begitulah yang saya pikirkan bila mengingat apa yang terjadi pada pilpres 2019 kemarin. Namun malam mini saya malah dibawa pada diskusi remeh yang ada di depan rumah saya. Kebetulan di rumah saya ada kang Rohmat dan kang Kodir.

“kang, menurut sampean semua, merdeka iku gimana?” Tanya kang Rohmat kepada kami berdua.
“merdeka iku yo artine berdaulat kang” jawab kang kodir.

“la terus berdaulat iku opo kang?”
“berdaulat iku ya, berdiri di atas kaki sendiri alias BERDIKARI”

“sampean ki ditakoni istilah, kok dijawab dengan istilah lagi. Mbokya dijelaskan saja satu istilah itu. Nanti saya Tanya maksutnya BEDIKARI itu apa? Dijawab dengan istilah lagi” tukas kang rohmat jengkel.

“wes ta kang. Lapo kita ini ngomongin kedaulatan Negara. Emangnya selama ini Negara ngurusin kedaulatan kita sebagai warganya? Lawong selama ini kita diotar-atur gak jelas kog. Bikin undang-undang saja pasalnya karet. Soal pancasila saja sampai hari ini kita masih diutak-atik maneh mau dibuat tri sila, bahkan mau jadi satu sila. Tak piker mboknya udah kita ini sama-sama bersepakat soal pancasila. Soal isinya bisa diangen-angen sendiri. Menurutku kalo begitu keadaannya televisi dan Koran-koran juga bakal memberitakan sesuatu yang lebih kongrit. Misalnya soal pengusutan HAM, atau soal penigkatan lapangan kerja. Atau malah memberitakan sioal penggusuran lapak pedagang kakilima gitu.” Saya berusaha melerai percakapan mereka dengan berorasi di depan keduanya soal pemerintah.

“la kalo Pancasila musti kita hayati sendiri, malah jadi gak beres nanti kang. Setiap orang kan kepalanya beda-beda. Nanti malah gak ada tafsir yang baku soal pancasila.” Sanggah kang kodir kepada saya.

Saya menarik nafas dalam-dalam untuk bersiap menjawabnya dengan antusias, “menurut saya pancasila itu dibuat tidak main-main kang. Ia adalah hasil dari perenungan panjang para pendiri bangsa kita. Kenapa saya bilang pancasila hanya perlu untuk direnungkan oleh setiap dari kita. Karena pancasila sudah mewakili bentuk paling kongkrit dari sebuah moto bangsa. Jadi bila dia direnungkan, hasilnya gak akan melenceng jauh. Apalagi sampai mau membelot NKRI. Keculai kalau yang menafsirinya punya kepentingan untuk serakah. Itu beda lagi persoalannya.”

“sampean yakin kang, pancasila itu kalau direnungkan oleh masing-masing dari kita hasilnya akan sama?” kang rohmat juga ikut memastikan.

“yakin saya, pancasila itu semboyan yang inklusif kalo dalam istilah akademiknya. Dia berusaha memayungi semua pihak yang menyongsonya. Kalo dia dimonopoli oleh pihak tertentu, itu ya malah jadi arogansi atas nama pancasila. Sekarang tinggal kita serius tidak menjalankan pancasila itu?”

Kang kodir dan kang rohmat sama-sama terdiam. Saya kira mereka sama tahu. Bahwa ada banyak hal yang ada di sekitar kita ini terasa tidak pancasilais bila direnungkan. Tentang penggusuran tanah secara paksa oleh pemerintah. Tentang biaya pendidikan, kesehatan dan administrasi yang lebih banyak menjadi beban ketimbang jalan kemudahan untuk kita yang orang biasa ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"