Nyastra

Berkali-kali saya diajak teman untuk menulis di salah satu website filsafat. Setiap kali disuruh menulis di website itu saya selalu berkata “iya”. Namun nyatanya sampai saat ini saya sama sekali belum membuat tulisan filsafat di sana. Bukan karena saya tidak mau, tapi karena pikiran saya rasanya berat untuk diajak membuat tulisan di kerangka itu. Sejak pertama kali saya diajak untuk membuat tulisan dan sampai sekarang, saya masih saya belum menemukan apa yang bisa sya tuliskan pada web itu. 

Lama-lama saya merasa gak enak sendiri dengan teman saya yang gak henti-hentinya mengaka untuk menulis disana. Namun mau bagaimana lagi, saya toh juga tidak bisa memaksakan pikiran untuk bisa menulis yang seperti itu.
Barang kali ini lebih pada kecenderungan bacaan. Sejak menjelang lulus di jurusan filsafat, saya lebih banyak melahap bacaan sastra dan juga esai kebudayaan. Buku yang saya baca selain sastran adalah buku Homo Deus. Cukup lama saya menghabiskan waktu untuk membaca buku itu. Rasanya memang terlalu mudah jika harus diselesaikan dalam waktu sebentar. Karena isinya cukup rumit untuk bisa ditelan secara langsung. Sebenarnya ada juga kumpulan artikel sejarah, namun buku itu lebih bersifat mereview daripada sebuah informasi baru.

Apakah karena sastra lebih ringan dari pada buku filsafat?

Rasanya tidak karena semua buku sama saja. Ada yang berat, ada yang ringan. Ada yang bagus, ada juga yang Cuma sampah. Jadi bukan bukan persolan ringan dan berat. Mungkin lebih karena sastra bersifat mengalir, sedangkan buku filsafat lebih terasa baku saat dibaca. Namun saya lebih menganggap ini adalah kecenderungan naluriah saja yang orang lain akan memiliki persepsi masing-masing tentang pilihan bacaanya.

Membaca sastra sebenarnya juga tidak mudah. Kalo hanya sekedar mengikuti ceritanya mungkin gampang. Namun akan terasa agak sulit ketika kita membaca sambil mengimajinasikannya. Dan yang lebih sulit lagi adalah menangkap makna yang terkandung dari cerita yang dibaca. Maknanya pun akan bergantung pada persepsi masing-masing. Setiap pembaca bisa jadi memiliki imajinasi yang berbeda dengan apa yang dia baca. Tapi rasanya akan ada kecenderungan makna yang mirip-mirip, jika pembacanya bisa memaknai ceritanya. Yang membuat sastra tampak sulit adalah, dia  tidak bisa hanya dipahami dengan kecerdasan, tapi juga dengan kedewasaan. Orang cerdas mungkin akan bisa membaca dan mengimajinasikan sastra dengan baik, tapi ketika kedewasaannya tidak tumbuh, maka sulit untuk mengharapkan dia mengerti maknanya.

Namun membaca jurnal filsafat yang baku juga baik sebenarnya. Dia mengajak untuk berfikir sistematis dan lugas. Dengan pola pikir yang sistematis dan lugas, itu akan membuat diri ini memiliki kemampuan menulis yang baik dan juga public speeking yang baik. Karena selama ini saya mengaku lemah dalam soal tersebut. Saya masih saja kagok dengan apa yang saya bicarakan, dan juga sering blepotan dalam mengelola pembicaraan di podcast saya.

Namun menulis dengan model mengutip pemikiran seorang tokoh filsafat dengan istlah filsafat pula rasanya juga sudah tidak nyaman. Itu rasanya sama saja dengan kita berjalan di atas trotoar sambil masih diberi tali penunjuk jalan. Rasanya lebih menyenangkan berjalan di hutan, baik itu mengikuti jalur yang ada, atau membuat jalur baru. Karena semua hal dari diri kita diharuskan aktif, mulai dari indra, pikiran dan juga jiwa.

Sebenarnya hasrat untuk membuat tulisan filsafat masih ada sampai sekarang. Namun saya belum menemukan enggel yang tepat untuk menuliskannya. Kebanyakan dari tulisan saya lebih berupa esai politik maupun sosial yang saya upayakan untuk ringan dibaca namun tetap berisi.


Komentar