PERTANYAAN SEDERHANA SOAL JODOH
Pagi ini aku sedikit pindah dari kantor BLK ke jondol yang dibuat oleh Kebo. Perasaan ingin pergi kesana bukan tanpa alasan. Semua itu karena aku merasa muak dengan kenaifan yang terjadi. Dan menurutku juga ada sedikit rasa kemaruk yang tidak mau diakui. Terus terang saja, meskipun tempat ini membuatku berkaca pada diriku sendiri, namun di sisi lain aku juga kurang begitu sreg dengan sifat orang yang naif belakangan ini. Merasa sok suci, sok soleh, sok memiliki tanggungjawab dan harus tampak bertanggungjawab, seolah-olah orang lain dianggap biasa saja. Tetapi itu mungkin lebih menjadi persoalan pribadiku sendiri. Kurasa mungkin mereka masih dalam tahapnya seperti itu. Aku yang percaya bahwa kedewasaan itu proses harusnya tidak begitu terpengaruh dengan mereka yang belum mampu melihat diri dalam pengalaman masa lalu. Ah, kenapa aku jadi sok dewasa begini? Ini cukup tolol.
Sampai di sana aku melanjutkan membaca buku yang tadi
kupilih dari rak. Kumpulan puisi Kahlil Gibran, Sang Nabi. Sebuah buku yang sebenarnya sejak kelas 2 SMA aku sudah
membelinya. Pemahamanku saat itu dalam membaca karya monumental Kahlil Gibran
ini tentu tak seperti sekarang. Bahkan untuk saat ini, aku merasa harus membaca
berunga-ulang 5 puisi yang ditulis dari halaman pertama, dan sekarang aku masih
belum melanjutkan ke halaman berikutnya. Aku malah bingung apakah ini sebuah
kemajuan atau sebuah kemunduran. Yang pasti, cara seperti itulah yang saat ini
kugunakan dalam membaca puisi Kahlil Gibran.
Beberapa waktu kemudian setelah aku selesai membaca, ada
seseorang yang bertanya kepadaku, “sampean memilih wanita yang cantik tapi gak
bisa apa-apa? Atau memilih yang gak gak cantik tapi pinter banyak hal?” aku
hanya sedikit tersenyum mendengar pertanyaan itu. Terus terang aku belum pernah
memikirkannya. Rasanya pertanyaan seperti itu hanya pertanyyan kelas rendah yang
terlampau teknis. Tapi sebagai anak filsafat aku langsung merasa bisa
menjawabnya, dan aku yakin jawaban itu tepat menurutku.
“aku milih seng ono
wae mbak” aku memilih yang ada saja mbak.
Tentu jawaban itu bukan bermaksud untuk memilih seadanya.
Dalam arti aku pasrah kepada siapa saja kalau ada yang mau denganku. “ada’
dalam terminologi filsafat maknanya tidak sesederhana kata biasa. Mungkin
memang kata dalam bahasa indonesia terlampau bias dalam melihatnya. Maksud kata
“ada” yang kuucapkan tadi mungkin bisa disetarakan dengan istilah wujud dalam bahasa arab, being dalam bahasa latin, atau das sain dalam bahasa jerman.
Mungkin bila dimaknai kembali adalah, dia orang yang ada
untukku. Ada dalam kekurangan dan kelemahanku. Dia yang “ada”, yang menjadi
bagian dari adanya diriku. Yang ada untuk membangunkanku di pagi hari, atau
membangunkanku untuk waktunya istirahat. Tetapi yang abstrak dari “ada” itu
adalah, dia ada dalam hatiku dan aku pun ada dalam hatinya, sampai aku dan dia
mengada menjadi kita.
Namun sebenarnya yang paling penting dari jawabanku itu
adalah tanggapan penanya mengenai pertanyaanku tadi. Dengan sederhana beliau
menjawab. “berarti kudu akeh ndongo. berarti
ya harus banyak berdoa”. Mungkin jawaban itu terkesan klise atau serupa anjuran sederhana saja. Namun bagiku tidak. Ungkapan
itu serupa anjuran untuk sebuah perjalanan panjang dalam melihat diri sendiri.
Karena dalam berdoa tidak hanya soal meminta, namun lebih pada soal menempatkan
diri dan sekaligus memantaskannya. Semuan ini tentu tudak sederhana dan
membutuhkan perjalanan panjang.
Mungkin ini juga merupakan moment bagiku untuk mengakrabkan
diri dengan kata beserta sertukturnya, dan juga berusaha menempatkan diri pada
kata yang aku buat setiap harinya.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya