IPUNG 1.2.3.

(Hidup Ini Keras, Maka Gebuklah)


Sudah menjadi logika umum, jika kita ingin menuntut ilmu, maka jawabannya adalah belajar di sekolah. Pendidikan adalah tonggak peradaban, dia menjadi titik awal dari sebuah perjalanan apa yang disebut dengan kemajuan. Namun bagaimana jadinya ketika sebuah lembaga pendidikan ditempatkan sebagai bagian dari ladang perbisnisan? Dan ternyata dalam sekolah itu kita lebih banyak diajak untuk berfikir dangkal, pragmatis, bahkan oportunis. Tapi hal itu bukan satu-satunya. Sebab pada hubungan antar guru-guru di sekolah tersebut juga mengalami setruktur yang serupa, dan ternyata, bila kita landscape dari jauh. Situasi pendidikan nasional pun begitu. Maka sekecil-kecilnya yang dapat dilakukan adalah memperbaiki diri dalam situasi yang memang sudah terlanjur seperti itu.

Di situlah seorang tokoh bernama ipung berada. Tidak penting apa yang menjadi latar belakang hidupnya. Yang membuat dia tampak mempesona adalah tentang bagaimana sikap dan tindakannya. Bukan soal fisik ataupun materi. Seorang anak yang tidak kaya dan juga tidak ganteng secara fisik, tapi dia mampu membius perasaan Paulin, yang bila dibayangkan Paulin adalah sosok Cinta(Dian Sastro) dalam film AADC. Sedangkan Ipung sama sekali tidak layak jika disamakan dengan Rangga (Nicolas Saputra). Namun nyatanya Paulin begitu mencintai Ipung, sebagaimana Cinta juga begitu mencintai rangga. Tetapi novel ini nampak adil karen pada akhirnya si gadis cantik, kaya dan populer itu, pergi meninggalkan Ipung.

Rasanya hal itulah yang membuat novel yang berawal dari cerbung ini dianggap sebagai novel remaja. Selebihnya buku ini adalah tulisan mengenai ilmu kehidupan. Tenang pamahaman mengenai nalar seorang bapak tukang becak yang siap menerobos jalur larangan, tentang naluri anak muda yang kesepian dan butuh eksistensi diri, juga tentang gerakan anak muda yang tampak naif.
Sebenarnya masih banyak banyak lagi hal yang membuat saya senyum-senyum sendiri dalam mebaca novel ini, tentang pendidikan, psikologi, politik dan juga renungan kehidupan. Namun yang paling tampak mengganjal adalah sosok Ipung yang dia berada di atas itu semua. Dia yang bijaksana bahkan melebihi usinya. Meski pada akhirnya dia mengakui kenaifannya bergaya di depan Paulin. Namun hal itu tidak dapat merubah dirinya yang memang sangat tampak sempurna dalam hal immaterial.

Prediksi saya. Novel ini akan terasa membosankan jika saya membacanya pada usia masih SMA. Memang seting ceritanya disana. Namun secara penalaran dan juga wawasan yang dibangun terasa melebihi masanya. Ada banyak quote dan juga sarkasme yang kemungkinan jika saya membacanya pada usia SMA, saya tidak akan mengerti. Seperti kata Marjikun pada Gredo saat dia hanya mau mengangkat sebutir paku. “jika mengangkat sebutir paku sudah menjadi hal yang luar biasa buatmu, maka lakukan itu dengan gembira”. Ini merupakan sindiran tingkat tinggi yang hanya diucapkan oleh orang-orang yang sudah sangat menguasai dinamika seperti itu. Karena secara wajar, orang akan lebih memilih menyindir atau bahkan mengejek secara radikal.

Tokoh yang juga menarik dalam buku ini adalah Lek Wuryanto. Dia adalah orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ipung. Tentang bagaimana ipung bersikap dan juga berkepribadian. Bisa dibilang dia adalah filosof yang disiapkan oleh penulis untuk menyampaikan pesan yang kehidupan dalam Novel ini. Yang membuat sikap itu pesan itu menarik ialah, tidak adanya kesan melankolik dalam setiap peemikiran dan juga perenungannya. Bahkan dengan bahasa yang sederhana, novel ini mampu menghasilkan makna yang sangat dalam. Tentang bagaimana kita melihat peristiwa yang hadir setiap hari di lingkungan kita masing-masing,

Komentar