Metode Menulis

Satu lagi metode Menulis yang ingin kutuliskan, selain dari metode dari pak Prie GS kemarin. Kali ini metode itu datang dari Mbah Emha Ainun Najib. Pada sebuah acara bernama Kenduri Cinta, Mas Sabrang bilang kalau dia bingung untuk menulis. Dia merasa kesulitan untuk membatasi pikirannya saat menulis. Rasanya itu mirip sepertiku. Aku juga selalu bingung untuk menentukan batasan atas apa yang aku tulis. Hingga kemudian aku ragu pada yang akan kutuliskan. Atau akan terlalu banyak kalimat bersayap nantinya. Yang paling parah adalah, tulisan itu akan macet total. Sebab kebingunganku untuk menulis kalimat selanjutnya yang tak kunjung yakin. 

Tapi kemudian mas sabrang bilang kalau beliau pernah diberi tahu oleh Mbah Emha, “seng penting koe nngerti ngarep e karo pok e, sek tengah arep kok gawe njoget sak kerepmu orapopo” yang penting kamu tahu depan sama ujungnya mau nulis apa, urusan tengahnya bisa kamu akselerasikan sesukamu. Mendengar ungkapan itu saya langsung ingat dengan tulisan Mbah Emha. Rasanya semua esai atau tulisan beliau yang pernah saya baca selalu seperti itu. Dimulai dengan judul yang menggelitik, awalan cerita yang terasa menggebu-gebu dan kadang lucu. Namun di akhir beliau mengungkapkan inti yang sama sekali tidak menggangu pikiran kita. Pada hal di tengah beliau serasa bercerita banyak hal. Jadi meskipun dalam satu tulisan itu berujung pada satu opini, namun sebenarnya tulisan itu bermakna banyak hal.
Rasanya jenis menulis seperti ini bisa di praktekan oleh orang yang sudah menguasai cukup kata dan minimal sudab baca satu buku mbah Emha. Dengan begitu kita akan bisa belajar juga pada konteks yang ditulis. Sepertinya itu juga yang membuat Mbah Emha begitu produktif menulis pada jamannya, bahkan sampai sekarang. 

Kabarnya beliau mampu menghasilkan 7 tulisan dalam sehari. Rasanya hal itu jarang sekali dimiliki oleh orang yang tidak benar-benar experts.
Beliau juga mendobrak pola pikir kita tentang inspirasi dan tempat menulis. Bahwa menulis butuh tempat yang tenang dan banyak penuh energi inspirasi. Menurut beliau, inspirasi itu ada dimana saja dan kapan saja. Semua tergantung kapasitas kita mampu menangkapnya. Tidak perlu harus ke atas gunung, ke pantai atas menyepi di kamar. Beliau bahkan bisa menulis sambil menemui tamu. Aku percaya dengan ungakapan Mbah Emha karena aku membaca buktinya. Tulisannya ringan dan mampu menyentuh jiwa pembacanya. Fokus beliau saat menulis lebih tertuju pada gagasannya, bukan pada apa yang ditulis. Terserah apa yang akan tertulis, asal gagasannya bisa tersampaikan. Cara beliau mengungkapkan masalah pun jelas, dan solusinya juga jelas, tidak mbulet dan bertele-tele.

Dalam tulisan Mbah Emha lah saya bisa bisa melihat tulisan sebagai kegiatan akademik, atau kegiatan jurnalistik. Tetapi lebih sebagai kegiatan spiritual. Dimana hati dan juga kesungguhan jiwa ikut berada disana. Rasanya tidak banyak di Indonesia yang tulisannya jujur seperti beliau. Kejujuran terasa tidak menjadi moto utama dalam menulis selama ini. Orang lebih banyak bicara ide yang seperti akan laku. Bukan ide yang dia sendiri sadar untuk sebaiknya dilakukan. Saya jadi ingat quote Novel Bumi Manusia itu, “seorang terpelajar haruslah bersikap adil, bahkan sejak dalam pikiran”.
Mungkin itulah kunci utama dalam tulisan beliau. Jujur dan tulus dalam menulis, tidak hanya soal honorarium dari media belaka. Bahkan dalam buku berjudul “Mati Ketawa Ala Refot-nasi”. Saya melihat banyak tulisan beliau yang seperti akan sulit dimuat waktu itu. Dalam tulisan itu dan juga banyak tulisan lainnya, tampak sekali beliau menulis untuk Indonesia, bukan untuk namanya sendiri.

Komentar