Saya memang tidak terlalu istimewa
Pada akhirnya masih saja begitu ingin untuk menjadi pengarang. Entah ini karena alasan kedekatan teknis atau hanya soal naluri untuk bermalas-malas. Karena yang bilang bahwa penulis itu lebih sebagai pekerjaan orang malas. Hanya diam di dalam kamar dan sibuk menjelaskan ide-ide dengan merangkai kata. Atau mungkin ini memang keinginan diri saya yang otentik? Karena pada akhirnya saya lebih suka menghabiskan uang untuk membeli buku di tengah kemepetan keuangan yang lain.
Tentu menulis bukanlah keinginan pertama dalam hidup saya. Sebagaimana naluri anak pada umumnya, saya dulu memiliki harapan untuk menjadi artis ternama. Tampil di depan panggung dan disoraki oleh banyak idola. Bahkan hanya menjadi penikmat sebuah konser musik saja begitu menyenagkan, palagi saya yang akan berada di panggung itu dan ditonton oleh ribuan pasang mata. Tentu itu sebuah perasaan yang luar biasa.
Namun pada kenyataanya saya juga tidak memiliki usaha yang lebih untuk mewujudkan hal itu. Entah karena saya orang yang malas atau memang dalam hal ini saya tidak benar-benar menginginkannya. Saya hanya kagum dan membayangkan diri pada pencapaian seseorang dalam menjadi artis, namun tidak membayangkan dalam kesulitan dan kesakitan tiap prosesnya. Hal ini membuat saya curiga pada diri saya sendiri. Apakah dalam soal menjadi penulis saya juga seperti itu?
Bisa jadi jawabannya iya. Karena sampai saat ini saya sama sekali tidak memiliki konsistensi dalam memikirkan setiap proses, kesakitan dan juga kekecewaan dalam penggapai tujuan tersebuta. Saya pun juga tidak cukup mau untuk menabung lebih banyak agar bisa membeli buku lebih banyak lagi. Saya juga tidak mau meluangkan lebih banyak waktu agar bisa membaca lebih banyak buku. Tentu ini sebenarnya kesalahan saya sendiri. Bukan soal saya menginginkannya atau tidak. Karena jawabannya jelas, “iya, saya ingin jadi penulis.”. Baik itu penulis secara amatir atau penulis secara provisional. Saya pun juga tidak terlalu focus dalam mempersiapkan diri pada apa yang saya tuju. Saya masih saja terbuai oleh banyak godaaan yang bagi saya itu menggiurkan.
Barangkali dalam diri saya memang ada penyakit yang lazim ditemui pada manusia modern. Yakni penyakit tentang keterasingan diri. Seperti seseorang yang memang tidak tahu siapa dirinya. Sehingga apa yang dia lakukan hanyalah naluri menyambung hidup semata. Yang setiap hari berangkat pagi dan pulang sore dalam tekanan dan ambisi. Mungkin bila ada masanya dia bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja, maka opsi itulah yang akan dia pilih.
Begitu juga dengan diri saya. Saya merasa siap membayangkan diri menjadi artis popular, atau siap menjadi penulis ternama yang hidup dari hasil royalty. Tapi saya belum sama sekali merasa siap untuk prosesnya. Jangankan mebayangkan prosesnya, memikirkan rasa sakit dan rangkain kekecewaan di sana. Bahkan untuk menyadari bahwa pencapaian itu merupakan akibat dari proses yang panjang saja saya tidak mampu. Maka bisa dibilang bahwa, apapun keinginan saya menjadi (yang tampak enak dan mengagumkan itu) tidak ada artinya sama sekali. Dari sinilah pada akhirnya saya merasa diri saya tidak begitu istimewa. Saya sama saja dengan banyak manusia lainnya yang mengisi dirinya dengan mimpi-mimpi tentang pencapaian. Menjadi musisi, menjadi penulis ternama, menjadi pengusaha sukses, menjadi petani yang hidup tenang, atau bahkan menjadi kepala daerah. Tapi tidak sekalipun saya mau konsisten terhadap proses yang menyertai pencapaian tersebut. Saya selalu setengah hati dalam mengupayakan apa yang akan saya capai. Hingga akhirnya saya pun tidak menjadi apa-apa. Bahkan untuk bilang bahwa saya menguasai “setengah” dari pencapaian itu pun rasanya belum. Sunggah tidak istimewa !
Tapi saya ingin menulis
Akan selalu ada alasan kenapa saya bilang pada diri saya sendiri bahwa “saya ingin menulis”. Dari yang paling klise sampai yang paling kongkrit. Tapi betapapun banyaknya alasan yang saya buat, itu sama sekali tidak penting. Sebab alasan dan tujuan saja tidak cukup. Menurut Mark Manson, kamu harus masuk dalam arena itu. Bila kamu tidak mau masuk dalam arena itu, maka sampai kapanpun keinginan itu hanya akan jadi keingin dan juga alasaanya saja. Mungkin pada suatu waktu keinginan itu terasa kuat, namun pada waktu yang lain keinginan itu pun juga akan melemah. Sebagaimana iman, hasrat seseorang pun juga naik turun, dan hanya balita dan anjing yang melakukan sesuatu berdasarkan keinginan perasaannya saja tanpa menalar lebih dulu.
Saya mesti turun ke arena itu. Mesti bergerak dalam dinamikanya. Musti siap untuk setiap rasa sakit dari konsistensi dan juga kekecewaan dari tiap perjalannya. Sederhananya, saya musti hemat dalam hal keuangan, karena dengan itu saya akan bisa menabung dan mebeli banyak buku. Juga saya akan memiliki banyak simpanan untuk perjalanan bertahan yang lebih jauh. Pesan moralnya adalah, saya musti mengontrol keinginan saya pada banyak hal yang itu sebenarnya sangat menggiurkan buat saya. Berusaha untuk tidak kemaruk memang sudah saya upayakan sejak dari kemarin, tapi kali ini akan lebih sulit lagi. Namun ini baru bagian dari persyaratannya. Artinya saya harus menetapkan dulu diri saya memenuhi syarat dalam hal ini baru kemudian bisa berlanjut ke tahap eksekusi. Saya tidak akan maju bila dalam persoalan syarat saja gagal.
Setelah bagian persyaratan selesai, barulah saya harus maju pada tahap eksekusi. Dalam hal ini mungkin saya akan memakai metode yang diajarkan oleh pak Prie GS dalam youtube-nya mengenai kepenulisan. Beliau memberi tips agar kita mengakrapi kata. Karena dalam dunia kepenulisan, hubungan kita harus memiliki hubungan yang baik dengan. Bila kita masih belum memiliki hubungan dengan “kata” itu sendiri, maka hendaknya kita bersilaturrahim padanya. Kita harus menempatkan diri sebagai orang butuh pada makhluk bernama “kata” itu, dan kita juga harus sadar bahwa “kata” tidak begitu peduli apakah kita mau mendekat dengannya tau tidak. Kita mendekat pun tidak membuatnya lantas ikut mendekat pada kita. Intinya, yang harus aktif pada kata itu adalah kita. Karena sampai kapanpun keakraban pada kata itu tak akan terjadi jika kita tidak pro-aktif dengan “kata” itu. Jalan untuk akrap terhadapnya bermacam-macam, sudah pasti lewat buku dan koran, tapi ada juga media selain-acara itu untuk mendekati kata. Bisa dengan musik, film dan juga acara baik yang audio atau yang audio visual. Kita juga harus aktif untuk melatih komunikasi kita pada apa saja. Baik itu pada materi maupun pada makna.
Setelah kita menjalin keakraban pada “kata”, kita akan sampai pada seni. Rasanya tidak akan terlalu sulit untuk menjalin keakraban dengan kata ketika kita sudah akrab dengan seni.
Setelah kita sudah sampai kata dan seni, mungkin sebaiknya kita ngomongin perosolan jiwa. Ini sangat tidak mudah, tapi setidaknya ada usaha untuk kesana. Bahwa karya besar selalu diibuat oleh mereka yang berjiwa besar. Contohnya saja kitab ihya'ulumudin, atau buku history of java. Tentunya buku seperti itu tidak hanya dibuat karena proyek belaka. Buku seperti itu juga dibuat berdasarkan dedikasi, dan juga spirit. Jika kamu tak bisa melatih dirimu untuk berjiwa besar, maka sia-sia sajalah apa yang kau tuliskan. Keindahan kata-kata itu memang tak terbatas, namun keindahannya bisa menipu jika perilaku penulisnya tak seindah kata-katanya. Ini memang tidak mudah, tapi masih tetap ada kemungkinan untuk menjalankannya. Tentunya dengan penuh kesadaran.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya