Dzikir

Hari ini pendapatan dari menjual bakso tusuk menurun drastis. Yang rata-rata setiap harinya bias lebih dari lima puluh ribu, tadi hanya dapat 30 ribu. Dalam benakku langsung terlintas pertanyaan, “kok bias segini?”. Jawaban yang timbul kemudian adalah, mungkin memang pasar sudah bosan dengan menu yang ada. Bukankah setiap harinya berapapun jumlah yang ku setorkan selalu habis?

Memang iya. Sebenarnya ini bukan soal serius. Mugnkin karena hari-hari ini perasaanku agak kacau saja, sehingga keadaan yang sepele terasa menjadi persoalan yang serius. Sulit memang menjadi pribadi yang kuasa berkuasa mengontrol diri untuk tetap tegak menghadapi persoalan yang silih berganti. Apalagi juga persoalannya menyangkut materi dan juga harga diri. Mungkin juga karena aku kurang banyak bedzikir. Kata Kiai Haji Mustofa Bisri atau Gus Mus, kebiasaan berdzikir itu juga sama pentingnya dengan kebiasaan berfikir. Jangan sampai kita hanya condong pada salah satunya. Sebab itu akan menjadikan diri lemah atau sombong.

Pada dasarnya sudah sejak lama aku tahu kalau berzdikir itu menenangkan jiwa, namun dalam prakteknya hal itu hanya menjadi pengetahuan teori belaka. Saat kondisi tidak mengenakkan terjadi, diri ini lebih senang untuk mengikuti emosi yang kadang kurang berfikir mengenai efeknya. Seperti kemarin, saat aku ngegas dengan seseorang yang kurasa sudah terlalu menjengkelkan.

Mungki berdzikir memang harus menjadi kebiasaan, sebagaimana berfikir. Bukan hanya saat berharap untuk hati tenang. Ketenangan bisa muncul karena adanya penerimaan dalam diri. Sedang penerimaan dalam diri muncul karena mengingat pada yang kuasa. Yang kuasa adalah sang pencipta. Jika orang lupa pada sang pencipta, maka dia akan menganggap dirinyalah yang berkuasa. Bila tengah jaya, kemungkinan besar dia akan sombong, sedangkan bila susah dia akan terpuruk lemah. Kuarap diri ini selalu diberi kekuatan untuk berdzikir.



 

Komentar