Manfaat dan Tidaknya


Setelah membeli part untuk sound, aku jadi merasa bersalah. Sebab kupikir hal ini akan memiliki efek buruk pada anak-anak. Jiwa yang belum siap untuk memanfaatkan sesuatu yang ada dan juga masih belum mengerti nilai kepantasan. Tapi entah mengapa kemarin saat membelinya aku tidak begitu berpikir mengenai hal itu. Barang kali ini lah yang dinamakan dengan diri yang kurang menghitung. Seorang yang dewasa dan bijak seharusnya mampu menghitung banyak hal dari satu keputusan yang dia buat, baik itu untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain.

Bagaimanapun hal ini terjadi karena keputusanku dan aku harus bertanggungjawab atas apa yang sudah kupilih. Termasuk mengatasi efek negatif dan siap disalahkan jika efek negative itu sesuatu saat ada. Karena sebenarnya memang tidak ada dampak baiknya dari perbaikan audio ini. Bukanlah mereka semua sudah punya headset masing-masing. Serasa lebih bermanfaat bila sound itu diletakkan di ruang computer yang umum dipakai untuk mengedit film.

Tapi aku sudah meminta uang anak-anak untuk iuran membeli part audio ini. Jadi aku sudah seharusnya harus memberikan hal kepada mereka untuk menggunakannya. Bila tidak, maka itu sama saja aku menghianatinya. Seorang manusia yang lurus terikat pada kata-kata dan konsekuensi logis dari keputusannya. Bila tidak, maka tidak jelaslah posisinya sebagai manusia.

Motivasi awal dari aku berusaha membuat sound ini adalah karena suaranya memang bagus, dan aku rindu pada suara sound bagus. Aku juga jengah dengan suara sound yang jelek tapi sering diputar keras, apalagi dengan musik yang kurang mutu. Namun setelah kurenungkan ternyata itu adalah keputusan yang kubuat atas dasar diriku pribadi. Sama sekali tak terlintas di pikiranku mengenai dampak lain bagi orang di sekelilingku.

Hal seperti ini menyadarkanku bahwa bahwa filsafat atau kebijaksanaan tidak hanya soal ndobos, tapi juga soal praktek. Terkadang praktek tidak membutuhkan banyak kata-kata, tidak juga membutuhkan statemen tertulis. Dia hanya butuh bertindak dan berpikir, serta waspada. Karena tanpa kewaspadaan orang akan menjadi lupa diri. Bila orang sudah lupa diri, maka dia akan seenaknya sendiri. Bahkan dengan dirinya sendiri saja dia lupa, apa lagi dengan yang di luar dirinya.

Mungkin kesimpulannya sama dengan kemarin. Bahwa untuk menjaga diri tetap waspada, maka harus banyak menyempatkan diri untuk berdzikir. Bukankah berdzikir tidak terlalu membutuhkan tempat dan waktu yang khusus. Bisa saat kita tengah bekerja di sawah atau di kebun. Bisa saat kita menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Atau yang lebih utama adalah waktu setelah sholat fardu. Yang penting jangan berdzikir saat berada di kamar mandi. Sebab kamar mandi lebih enak untuk dibuat boker sambil merokok.

Mengapa aku menjawab begitu? Sebab aku sendiri tidak memiliki alasan yang memuaskan untuk diriku sendiri tentang mengapa kita dilarang berdzikir di kamar mandi. Untuk saja dalam agama tidak ada larangan untuk bernyanyi saat mandi, atau menunggu pup selesai sambil merokok. Kalau saja itu terjadi, maka rasanya akan sangat memberatkan. Sebab kebiasaan ini memang sangat sulit untuk diatasi, kecuali kalau sedang ke pepet di tempat umum.

Rasanya aku sudah terlalu melenceng dari pembahasan awalku tadi. Yah, beginilah aku dalam menulis. Tidak mau membuat struktur yang jelas mengenai apa yang mau dituliskan. Mengalir saja dengan begitu banyak basa-basi. Semoga dengan cara seperti ini tulisanku menjadi enak dibaca. Jikalau tidak, berarti memang tulisankau cuma serupa celoteh saja. Namun aku akan membuat pembelaan. Bahwa celoteh yang lahir dari hati akan terasa lebih menyentuh dari pada artikel yang hanya mengejar click bait.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"