Waktu Yang Tepatat Untuk Menikah


Blam. Kapan kamu menikah?

Ya nantilah, kalau waktunya .

Kamu sudah punya pacar?

Belum

Berarti waktunya akan tiba cukup lama

Bisa jadi, Sekarang aku masih bermodal keyakinan.

Kenapa kamu bisa yakin? Pacar tak punya. Kerja juga serampangan. Penghasilan minus. Memang apa yang membuat cewek mendekat kepadamu. Kita bukan anak remaja yang suka sama orang cuma karena parasnya saja.

Kuputusan untuk pergi, karena aku sudah tidak tahan mendengar omongannya. Semakin banyak dia bicara, pikiranku jadi makin kacau. Sampai di kamar aku jadi marah dengan keadaan ini. Kenapa dunia tidak bisa menerima keyakinanku. Aku bahkan tak meminta orang lain untuk mempercayai. Tapi mengapa mereka dengan mudah membantah. Mentang-mentang sudah menikah. Dia merasa hidupnya sudah lebih maju dariku. Dia pikir hidup ini lari maraton. Siapa yang sampai duluan, dia yang sukses. Bagaimana mana kalau hidup ini adalah sebuah perjalanan. Dan tiap orang punya jalannya masing-masing. Begitu juga dengan jalannya “ke atas” sana.

Aku sebenarnya ragu apakah temanku ini sudah bahagia dengan pernikahannya. Dia yang terlalu banyak posting di media sosial tentang kegiatannya bersama istrinya, malah seperti orang-orang modern yang kesepian. Selayaknya orang yang butuh pengakuan publik bahwa dia bahagia. Bagiku itu sama sekali tidak mutu. Tapi pendapat pribadi ini hanya pantas diterapkan untuk diri sendiri. Sebab kecenderungan mengungkapkan ego pada khalayak umum hanya akan melemahkan pesan pada tingkat penerapannya. Atau entahlah, mungkin itu hanya anggapanku saja.

Awalnya aku iri dengan tampilan orang di media sosial. Namun kemudian aku lebih suka mencibir mereka. Aku lebih memganggap apa yang mereka pamerkan lebih merupakan ilusi sosial yang seolah-olah membahagiakan. Sependek pengalamanku, rasa pamer hanyalah kebanggaan sesaat. Karena sesudah mereka yang kita pameri sudah tahu, maka rasanya sudah seperti biasa. Yah, seperti saat kita menunggu adzan magrib untuk buka puasa di bulan Ramadhan. Atau seperti naluri seks yang kemudian dilampiaskan dengan masturbasi.

Eh, ngomong-ngomong soal masturbasi aku cukup sering melakukannya akhir-akhir ini. Ya, biasanya dua kali dalam seminggu. Mungkin ini memang soal naluri. Di umur yang sudah cukup tua ini naluri itu tidak kunjung melemah. Butuh lebih kuat menahan diri dalam dan membuat pengalihan agar tidak terkoyak-koyak olehnya. Mungkin dengan menambah kegiatan dalam pengangguran ini.

Sebenarnya aku masih ingat saran kalau belum bisa menikah meski sudah umurnya, bisa di tahan dengan berpuasa. Tapi rasanya puasa bukan jalan ninjaku. Untuk puasa Ramadhan saja banyak sambat, dan kadang juga masih bolong. Apalagi kalau harus puasa untuk menahan diri pada persoalan selangkangan. Rasanya mendingan pasrah pada keduanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk menulis. Bukan menulis artikel atas sastra, tapi lebih pada menuliskan isi perasaanku dari hari ke hari. Awalnya. Aku bersemangat dalam menulis. Setelah sudah satu lembar, kemudian kubaca lagi tulisanku dan rasanya mau muntah. Ada banyak tata bahasa yang salah. Ada banyak logika yang tidak nyambung. Sama sekali tidak teratur dan melompat-lompat. Kulihat tulisanku sendiri yang tidak seperti esai, tidak juga artikel, lebih tepatnya adalah sampah kata. Kalimat semerawut yang akan sangat membosankan saat orang membacanya. Beruntungnya aku sendiri yang membaca, jadi aku tahan dengan kesemrawutan yang kubuat sendiri.

Besoknya lagi aku tetap menulis. Tapi aku malah bingung dengan apa yang akan kutuliskan. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak hal yang ingin ditulis tapi juga ragu, dan menyangka bakal membosankan. Akhirnya Cuma bisa bengong sendiri di depan laptop. Perlahan kubayangkan para penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, Budi Dharma, Arswendo Atmowiloto dan banyak lagi yang lainnya. Kenapa merdeka bisa menulis? Kenapa bisa sebegitu produktif dan bagus-bagus juga karyanya. Ilmu apa yang mereka pelajari untuk bisa begitu. Mereka punya ajian apa? Atau mereka pernah Tirakat apa? Kenapa karya mereka bisa sampai belasan eksemplar? Bahkan untuk membuat sepuluh lembar tulisan yang layak saja aku macet dalam lembar kedua. Oh beratnya.

Kalau penulis mengatakan bahwa “untuk bisa menulis dengan baik kamu harus sering membaca”. Nyatanya bacaan yang selama ini kulahap tidak banyak membantuku dalam soal ini. Aku malah curiga dengan diriku, jangan-jangan selama ini bacaanku kurang banyak. Ah tidak. Aku yakin jika itu persoalannya. Mungkin ada faktor lain di luar soal “harus banyak membaca” yang belum aku kuasai. Tapi apa? Aku malah bingung sendiri dan akhirnya tidak kunjung menulis.

Bahkan sampai saat ini, aku masih saja belum tau apa yang hendak kutulis. Itu artinya aku tidak memiliki tema. Bagaimana mana akan membuat tulisan, sedangkan aku sendiri tidak memiliki temanya. Ah, bedebah. Bahkan untuk menulis saja bisa sesulit ini. Aku jadi tidak percaya lagi dengan ucapan seorang penulis yang mengatakan bahwa “menulis itu gampang”. Ngomongnya saja yang gampang. Semua yang dikerjakan tanpa kemampuan akan terasa sulit. Tapi kemampuan seperti apa yang harus diasah? Ah, entahlah.

Eh, ngomong-ngomong kita belum kenalan. Perkenalkan nama saya Arbalm. Panggil saja saya “Blam”. Tentu ini nama samaran, sebab nama asli tak penting juga untuk diungkapkan. Apalah arti sebuah nama. Begitu kata pepatah yang entah siapa namanya. Karena untuk menjadi teman, nama bukan hal yang penting.

Aku menulis ini hanya untuk bercerita mengenai hidupku. Aku bukan orang yang pandai dalam berteman. Aku orang yang lebih suka menyendiri. Tapi ternyata, dalam kesendirian ini aku malah berhasrat untuk bercerita pada banyak teman. Dari sinilah kemauanku menulis dimulai. Meski tulisanku membosankan. Bahkan, membosankannya tulisanku ini membuatku merasa bahwa, “mungkin omonganku juga cukup membosankan untuk didengar orang”. Tapi persetan dengan itu semua. Kebanyakan ekspektasi atas apa yang dilakukan adalah cara untuk bunuh diri pelan-pelan.

Aku hanya berusaha bercerita dalam sepiku. Mungkin ini tidak sesyahdu “mencintai dalam sepi” seperti lagu yang sedang populer dikalangan remaja saat ini. Namun bagiku ini menyenangkan. Karena aku pernah mencintai seseorang dalam kesepian. Senyum-senyum sendiri, membayangkannya guling seperti dirinya, memandangi fotonya, dan tapi hal itu tidak membuatku merasa gila. Karena itu adalah waktunya diri dikuasai oleh perasaan. Eh, kenapa aku hisa sampai di sini?

Ya begitulah tulisanku. Muter-muter dan melompat-lompat pembahasannya. Tidak fokus dan banyak kalimat yang tidak nyambung. Aku jadi bingung apakah aku sedang menulis atau masih dalam tahap belajar menulis. Tapi aku tak peduli. Yang salah dari semuanya adalah kebodohan itu sendiri. Aku tak mau kalah dengan kebodohan. Merka yang bodoh adalah yang akan kalah. Aku tak mau kalah, apalagi menyerah. Biarkan kebodohan ini berperoses dan terjawab oleh waktu.

Komentar