Anomali


Pernahkah kamu rindu pada sesuatu yang dalam hati kecilmu juga tak mengharapkan kehadirannya. Ini memang sebuah anomali yang tidak mungkin, tapi hal ini begitu terasa pada diriku saat ini. Sebenarnya ini bukan yang pertama. Dalam hal politik Indonesia saat ini pun juga begitu. Aku kagum pada seorang tokohnya politik bernama Fahri Hamzah. Bagiku dia adalah orang yang men-cagar-kan adanya sebuah oposisi dalam keadaan apapun. Aku juga sepakat dengan idenya mengenai negara dan pemberantasan korupsi. Namun jika beliau mencalonkan diri sebagai presiden, tentunya aku akan lebih memilih yang yang lebih NU dari beliau. Karna sekagum apapun aku pada pemikiran dan gagasannya, aku tak bisa meninggalkan pengalaman dan jiwa Nahdiyin yang sudah melekat dalam hidupku dari kecil.

Orang bisa mengecam apa saja mengenai hal itu padaku. Tapi bagiku inilah kejujuran. Kadang ia hanya pahit untuk diri sendiri, kadang pula pahit untuk lingkungan.

Sebaiknya kita beralih saja pada masalah rindu yang dituliskan di awal. Sebab membahasnya tak akan banyak membantu batinku menjadi lebih tenang. Mungki kita mulai saja tulisan ini dengan pembukaan yang lebih tenang, namun tetap jujur.

Belakangan ini atau bahkan selama ini aku banyak berfikir hal-hal yang acak. Kadang soal politik negara, kadang juga soal agama, soal nilai-nilai filosofis dalam hidup, dan bahkan soal-sial pratis seperti menanam anggur, cabe dan lain-lain.

Hal itu terkait dengan bawaan ku sebagai orang yang pernah mengambil jurusan filsafat dan juga kegiatan yang kujalani selama ini. Mulai dari tinggal sendirian di tengah sawah, sedikit berniat untuk bertani, nderes, dan belajar berbisnis.

Hal lain yang masih saja kulakukan adalah membaca buku dan juga beberapa tulisan di internet, dan dari semua hal itu yang paling menggangguku adalah yang terakhir. Di sana aku melihat tentang begitu banyak orang menulis kebenarannya sendiri yang tampak sempit dan naif. Aku "gatal" membacanya, namun masih sadar bahwa dia punya hak untuk melakukan itu. Begitu juga denganku. Maka dari itu aku mulai menulis lagi dalam rangka membahas kebenaran versiku sendiri dan juga menyalurkan apa yang mengendap dalam pikiran selama ini.

Menarasikan kebenaran versi diri sendiri adalah naluri, namun itu juga penyakit. Ketidak jujuran dan kenaifan atau bahkan kemunafikan di dalamnya akan menjadi virus yang membutakan banyak orang.
Saat kenaifan dan kesempitan berfikir itu semakin akut dan tidak disadari, maka kejujuran akan semakin jauh dan terasa pahit untuk ditelan.
Mungkin ini dulu yang bisa kutuliskan soal yang bergelimang di kepalaku. Semoga besok ada sudut pandang baru yang lebih terang.

Komentar