Hey Bung
Suatu hari di Jogja ada teman yang mengajak ngopi dan bercerita. Kusuruh saja dia ngopi di tempatku. Ternyata dia tengah mengeluhkan banyak masalah. Masalah paling nyata saat ini adalah tentang “perasaan hidup yang sudah gagal”. Tentang mengapa dulu dia memilih untuk menjadi aktivis dan tidak kegiatan yang lain. Dia memilih untuk mengikuti diskusi-diskusi Ekonomi-Politik dan berbagai kegiatan organisasi pergerakan lainnya.
Dari situ dia menyadari bahwa selama ini dia mengalami yang namanya dis-orientasi dalam hidupnya sendiri. Dia menyesal. Mungkin lebih baik dulu dia masuk ke area yang dapat dia jadikan pijakan untuk sekarang. Satu kegiatan yang dia bisa jadikan bahan keterampilan untuk dapat menunjang hidup hari ini. Nyatanya hari ini semuanya sudah terlambat. Kini dia musti memikirkan bagaimana hidupnya dari awal.
Aku mencoba meyakinkan dirinya dengan bertanya :
“Lha kamu menyalahkan organisasi atau pilihanmu hidupku sendiri sebenarnya?”
“Yah, ini pilihanku sendiri. Ini semua memang karena aku tak mau tidak mau total menjalani semuanya.”
“Apa menurutmu kamu terlambat?”
“Iya, aku terlambat menyadari kegelisahan seperti ini”
“Menurutku bagus kalau kamu sadar, dan memang ada yang namanya kata “terlambat”. Sebab jika tak ada kata terlambat, maka tidak akan ada kata “tepat waktu”.”
Sebenarnya aku juga ingin bilang padanya bahwa hal ini juga terjadi padaku beberapa tahun lalu. Dengan kata lain, aku lebih dulu menyadari hal seperti ini dari dia. Tapi aku tak mau mengatakan itu agar aku juga tak tampak rapuh. Kucoba saja untuk pura-pura antusias mendengar dirinya bercerita.
Cukup banyak hal yang kukenal darinya. Dia mungkin sama denganku. Tidak mau terjun pada bidang-bidang yang tampak sekali terlalu naif, tapi juga sering terbawa suasana(perasaan) dalam menjalani kegiatan di organisasi. Hal itulah yang membuat dirinya tampak tidak total dalam menjalani kegiatan organisasi selama ini.
Mungkin ada satu jenis alasan lagi yang selama ini sama-sama tidak kita sadari. Yakni tentang pelarian. Bahwa sebenarnya selama ini kita tidak benar-benar berniat masuk ke dalan jenis dunia yang seperti ini. Selama ini kita hanya menghindar dari apa yang tengah menimpa diri kita. Dari kepenatan tentang keluarga dan banyak hal yang ada di lingkungan rumah kita. Atau selama ini kita menghindar dari kesepian yang kita jalani dan masuk dalan keramaian yang kita juga tidak begitu mengenalnya. Ah, entahlah. Aku tahu jawabannya cukup sulit di jelaskan. Namun aku yakin jawabannya ada dalam hati kita masing-masing.
Aku bilang pada kawanku itu :“Hey Bung. Aku dan kamu ini pernah memperjuangkan hidup orang. Jadi yakinlah bahwa hidupmu juga ada yang akan memperjuangkan, dan itu juga tidak harus orang yang sama. Tuhan punya seribu cara untuk menolong hambanya yang seorang pejuang.” Kuhisap rokok dalam-dalam dan keluarkan pelan-pelan sembari memikirkan kata selanjutnya.
“Apakah kamu pernah berpikir bahwa meskipun hanya sebatas itu kemampuanmu, kamu punya kemauan untuk memperjuangkan nasip hidup orang lain? Kurasa itu cukup untuk bisa menguatkan harimu bahwa bakal ada yang juga membantu memperjuangkan hidupmu tanpa kamu memintanya. Semua itu bakal terjadi karena energi semesta mengharuskan untuk itu. Kamu dan aku hanya butuh meyakininya”
Dia terdiam mendengarkan dengan cukup serius. Aku berharap dia mempu menerima dan merenungkan omonganku. Aku kembali menghisap rokok dan meminum kopi yang sudah agak mendingin.
Kemudian aku berusaha membahs topik lain yang cukup untuk sekedar haha-hihi bersama.
Komentar
Posting Komentar
terimakasih atas perhatiannya