Rayya ; Belajar Di Universitas Kehidupan

Paulo Coelho pernah bilang. "Buatlah perpustakaan pribadi, simpanlah seratus buku di perpustakaan mu dan sebarkan buku-bukumu yang lain. Seratus buku yang kau simpan itu hanya untuk buku yang akan kau baca berulang-ulang."

Rasanya hal ini juga cocok dipraktekkan dalam soal film yang kita tonton. Secara pribadi aku jarang mengisi memory perangkatku dengan film. Terkecuali jika itu film yang akan kutonton berulang kali. Salah satu film yang masuk dalam daftar itu adalah Film Rayya.

Yang membuatku tertarik pada film ini adalah saat aku tahu bahwa yang membuat naskahnya Cak Nun. Begitulah kiranya, ada orang yang saat kita mendengar namanya saja sudah akan percaya dengan kualitas produknya, Dan memang percakapan dalam film ini layak untuk di dengarkan berulang-ulang.

Fili ini diawali dengan konflik cinta yang kandas, dan itu membuat semuanya menjadi tak ada artinya. Rasanya semua orang bisa mengerti keadaan itu, sebab mereka pernah mengalaminya. Hal itulah juga yang dialami oleh Rayya, si tokoh utama dalam film ini. Bahkan dalam profesinya yang glamour, hatinya lebih memilih lelaki yang hanya seorang pilot sebagai kekasihnya. Profesi yang bahkan gajinya hanya sepersejuta dari yang bisa dia hasilkan. Mungkin ini dibilang bahwa hati punya rumusnya sendiri dalam memilih.

Lelaki itu sudah menikah, dan karena tahu dia akan memiliki anak dia mau memutus hubungannya dengan Rayya. Dari situlah drama kekecewaan, penderitaan dan dendam asmara ini dimulai.

Sebuah perjalanan yang awalnya dibuat untuk proyek pemotretan membuat buku, dijadikan pelampiasan untuk bunuh diri oleh Rayya. Namun makna untuk bunuh diri itu berubah saat dia ditemani oleh fotografer yang memberinya banyak pelajaran dalam perjalanan itu. Mulai dari mengantarkan orang nikahan, pergi ke Akadami Salam, jalan-jalan di kaliprogo, dan sampai pada pertemuan dengan para wanita buruh pabrik rokok.

Pada akhirnya Rayya menyimpulkan bahwa yang pantas dia bunuh adalah kediriannya sendiri. Sebab semua perjalanan yang ia lalui membuat dia melihat pada dirinya sendiri, dan semakin merasa bahwa dia bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa. Menurutku, perjalanan itu semakin membuat dia melihat manusia sebagai manusia. Dia juga bisa melihat bahwa selama ini selebritas, dan status tinggi yang dia banggakan hanyalah tipuan dunia. Dari banyak pelajaran itulah dia belajar untuk bisa memaafkan dan tidak dendam. Dalam ujung perjalanan cerita itulah film ini memberi banyak pelajaran.

Selain dari pemandangan yang menawan, juga alur yang baik, film ini juga memiliki banyak percakapan yang bermakna. Aku merasa harus menontonnya beberapa kali untuk bisa menikmati dan menangkap percakapan yang mengandung banyak nilai-nilai kehidupan ini. 

Aku juga menikmati ekting kedua tokoh utamanya yang cukup tepat, yakni, Titi Syuman dan Tio Pakusadewo. Namun sebenarnya aku juga merasa terlambat sebagai penyuka film. Sebab film ini dirilis tahun 2012 dan aku baru menontonnya 2021. Sebab waktu itu aku merasa film Indonesia tidak keren seperti film Forest Gump atau Film India harapan Amir Khan. Ternyata aku salah. Beginilah kalau orang terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan sepihak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"