Seimbang

Ada pengalaman yang cukup menjengkelkan tapi pada akhirnya menyadarkan. Ada perasaan bahwa hal ini tampak sepele, tapi setelah direnungi lebih jauh ini merupakan pembelajaran berarti.
Seperti biasa, sesaat setelah bangun pagi aku langsung buka hp dan melihat story WhatsApp. Disana kulihat akan ada seminar yang diisi oleh temanku nanti sore. Aku ikut gembira karena temanku sudah cukup punya kualitas untuk itu. Kemudian aku lanjutkan untuk men-share berita itu lewat WhatsAppku. Hingga sorenya ku datang kesana bersama teman sekelas kita.

Aku lupa dengan judul seminar itu. Karena sebenarnya aku kesana dalam rangka mengapresiasi temanku yang menjadi asisten dosen tersebut. Aku berusaha mengamati penjelasannya. Ku dengarkan dari awal sampai akhir. Dari awal komunikasinya terasa cukup “kaku”. Kemudian penjelasannya melenceng ke arah sesuatu yang dipamerkan, yakni tentang hobi majalah bacaannya, Nastonal Geograpic. Ada juga yang tampak ngawur, yakni soal dia tiba-tiba menyinggung soal Imam Ghazali yang sial karya fenomenalnya, Tahafut Al-Falasifah. “saat Iman Ghazali menulis tentang Kerancuan Filsafat, beliau sendiri berfilsafat disana. Lalu siapa yang rancu?” Melihat dia ngomong seperti itu Serasa melihat mahasiswa Pascasarjana rasa anak S1 semester awal yang masih minim dan naif. Ya begitulah memang, teman tetaplah teman dan kualitas tetaplah kualitas.

Kemudian tiba waktunya untuk bertanya. Forum tampak sepi dan menggantung. Aku menengok kanan-kiri, tapi tak ada yang tampak akan bertanya. Mungkin forum ini perlu dihidupkan. Perlu seorang yang memantik apresiasi atau mengawali bertanya, ataupun juga menambahi. Dari situ kuputuskan untuk mengangkat tangan lebih dulu. Di awal aku bilang kalau sebenarnya diskusi ini menarik, cuma dari tengah penjelasannya menjadi melebar. Kemudian aku menambahi soal pandanganku pribadi mengenai majalah NG tersebut sebagai “konsumsi” kelas menengah ke atas. Aku juga melihat tema yang dia bawa dalam pandangan novel Supernova dan buku lainnya. Namun kutambahi lagi bahwa itu menjadi “konsumsi” kelas menengah keatas. Sampai pada bagian akhirnya aku bertanya yang aku lupa pertanyaannya apa.

Aku tidak menyangka bahwa jawabannya cukup sinis, atau lebih terasa menamparku di depan umum. Dia cerita soal pengalamannya dengan musik jazz saat di lereng gunung bersama masyarakat desa. Dia juga bilang kalau dia mengajak membaca orang-orang dengan novel Supernova dan buku lain yang dia punya. Dia menegaskan bahwa bahwa hal itu tidak condong dengan kelas ekonomi tertentu. Sumpah, jawaban itu begitu ceroboh dan naif. Sampai pertanyaanku sendiri tak terjawab dengan jelas.

Namun dari sambutan pertamaku tadi muncullah pertanyaan dan komentar ke dua, ketiga, dan seterusnya. Dari sana sudah ada yang berani bilang bahwa penjelasan yang di depan tadi melenceng jauh. Dia kemudian menanggapi hal itu dengan “ya, saya lebih senang jika dibilang dengan jujur bahwa penjelasan saya tadi melenceng, dari pada harus di haluskan dengan melebar”. Aku cukup kaget mendengar pernyataan itu. Apakah benar-benar salah ungkapanku tadi?

Dari situ aku belar bahwa, jangan terlalu mengharapkan apresiasi yang baik dengan keputusanmu yang berdasarkan niat baik. Atau mungkin yang kamu lakukan salah menurut dia. Jadi dalam banyak hal kamu harus siap untuk disalahpahami oleh siapapun. Memang tidak mudah dalam mengelola emosi disana, tapi cobalah untuk berusaha siap.

Terakhir adalah soal ungkapan lama mahasiswa filsafat, “ijasa adalah bukti anda pernah mengurus administrasi sekolah, Bukan bukti bahwa anda mampu berpikir”. Scholarship itu milik siapa saja dan dimana sana. Bahkan orang yang dekat dengan dunia sekolah tidak menjamin dia berkapasitas scholarship yang baik. Dari situlah aku memutuskan untuk lulus hanya untuk menyenangkan orang di rumah, dan aku tidak berniat untuk membawa ijazahku ke dunia kerja. Bahkan saat ada seseorang yang menawari dana beasiswa pasca sarjana pun aku tak tertarik. Mungkin juga sebab keribetan administrasi dan legalitas yang terasa berat aku telateni.

Namun ternyata ada fakta yang menarik. Teman yang tadi itu banyak membantuku dalam menyelesaikan administrasi kampus. Pengalamannya juga sangat membantu dalam menyelesaikan rangkaian menuju wisuda. Mulai dari revisi sampai pada penjilidan. Bahkan dia yang menyelesaikan tahap akhir tetek bengek administrasi itu saat aku ada urusan di rumah. Sehingga saat aku datang ke kampus hanya tinggal menyetorkan hasil administrasi yang sudah dia siapkan. Rasanya ucapan terimakasih saja serasa tidak cukup pada teman ku itu.

Mengingat pertolongan itu aku jadi sadar bahwa kehidupan ini memang penuh keseimbangan. Keseimbangan atau kestabilan bukan sebuah pelajaran yang kongkrit yang bisa didikte ke pada siapapun. Bahkan pada kelompok sosial sekalipun. Dia harus menjadi proses pelajaran yang dialami. Mungkin harus melalui peristiwa berat sebelah terlebih dahulu, bisa juga konflik. Pendewasaan dari konflik itulah yang kemudian akan menjadi sebuah kestabilan dan keadilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Berlalu

Tanpa Lagu "Legenda", Gus Dur Tetap Idola

SEKILAS "MAMNU"