Mengevaluasi Diri Sendiri

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Atau dilahirkan dan mati muda

Penggalan puisi itu sempat begitu mengilhamiku saat aku merasa kesal dengan hidup. Mulai dari kisah cinta yang gagal, dan ketidak terimaan atas permasalahan yang berada dalam keluarga. Saat ini naluriku mengajak untuk menghindar dari itu semua. Berharap masalah itu selesai dengan sendirinya. Kemudian aku bisa kembali dan menganggap masalah itu tak pernah ada. Atau aku pergi dan sama sekali tidak peduli dengan apa yang sudah terjadi. Bukan aku yang membuat masalah itu, dan aku tak harus menganggung beban untuk menyelesaikannya. Aku malah ingin selalu protes bahwa aku adalah korban dari keadaan itu semua. Meski semua itu tak ada gunanya. Menjelaskan sesuatu kepada mereka yang tidak mau mengerti hanyalah menghabiskan tenaga. Sebab kini mereka juga terjebak dalam persoalannya masing-masing.

“Sudahlah. Sekarang kau fokus saja dengan dirimu saat ini. Jangan terlalu membebani diri dengan hal itu. Jalani saja apa yang baik untukmu dan kamu juga menikmatinya. Tak ada gunanya juga terlalu mengungkit hal yang sudah sudah. Anggap saja hal itu sudah berlalu dan ambil saja yang yang bisa kamu nikmati. Jangan terlalu merisaukan masalah yang seharusnya bukan kamu yang menanggung”

Begitulah yang dikatakan temanku saat aku bercerita mengenai hal yang kualami di masa lalu. Awalnya aku merasa janggal dengan pendapatnya yang seperti itu. Namun setelah lama aku menjalani keadaan ini sambil terus mengingatnya, aku merasa pendapat itu sefrekuensi denganku. Ternyata kita tidak hanya butuh dengan pendapat yang benar, tapi juga pendapat yang sejiwa dengan diri kita.

Waktu terus berlalu dan aku juga tidak pernah lupa dengan banyak kejadian yang kualami pada waktu kecil. Seringnya ingatan mengenai hal itu teralihkan dengan kesibukanku yang tak seberapa. Namun saat-saat ssenggan ingatan itu menyeruak dalam hati, dan kembali membangkitkan emosi. Padahal saat ini keadaan sudah berubah dan mungkin mereka sudah bisa menyadari apa yang menjadi kesalahannya padaku.

Namun perasaanku terhadap apa yang terjadi di masa itu tak kunjung berubah.
Barang kali ini merupakan pelampiasan pribadiku atas banyaknya kegagalan yang kualami. Aku tak sanggup menyalahkan diriku sendiri dan melampiaskannya pada mereka. Sedangkan perasaan seperti itu tak mengubah apapun sampai saat ini. Aku masih saja terjebak dalam siklus antara ketidakmauan dan ketidakmampuan. Dua hal yang tidak dapat kupilah mana yang menjadi keputusan pribadiku. Mungkin aku harus lebih sering membicarakan pada kesalahan yang aku lakukan dan jangan lagi menyalahkan orang lain atas apa yang aku alami. Sebab memang tak ada gunanya melakukan hal itu. Rasanya malah akan membuat diri menjadi tidak berkembang dan terkesan tidak mau belajar dari masalah.

Aku jadi ingat ketika aku pacaran dan kekasihku selingkuh. Dengan percaya diri dia menganggap bahwa perbuatannya yang seperti itu disebabkan karena kesalahanku. Aku sungguh tidak bisa menerima perbuatan itu. Maka sebaiknya saat ini aku tak menunjuk orang lain atas kesalahan dan kegagalan yang aku alami.

Komentar